DOHA (Arrahmah.id) — Pakar militer, Mayor Jenderal Purnawirawan Fayez ad-Duwairi, menyatakan bahwa fasilitas nuklir Iran berada sangat dalam di dalam pegunungan, sehingga menyulitkan upaya “Israel” untuk menargetkan dan menghancurkannya. Selain itu, Tel Aviv juga menghadapi kendala logistik besar untuk melancarkan serangan tersebut.
Dalam wawancaranya dengan Al Jazeera menjelang serangan militer besar-besaran “Israel”, ad-Duwairi menegaskan bahwa satu-satunya bom yang mampu menghancurkan fasilitas nuklir Iran di Natanz, Fordow, dan Arak adalah bom jenis GBU-57. Namun, “Israel” tidak memiliki pesawat yang mampu membawa bom tersebut.
Menurutnya, jet tempur seperti F-35 dan sejenisnya tidak dapat mengangkut bom yang beratnya lebih dari 12 ton itu. Hanya pesawat pengebom strategis milik Amerika Serikat yang dapat membawanya.
Ad-Duwairi menambahkan bahwa bom ini mampu menembus 60 meter beton bertulang, yang berarti ia juga bisa menembus lebih dari 60 meter bebatuan dan lapisan keras lainnya, sehingga memungkinkan untuk menghantam fasilitas nuklir bawah tanah Iran.
Pada Jumat dini hari, “Israel” melancarkan serangan besar-besaran terhadap Iran. Mereka mengklaim telah menargetkan fasilitas nuklir, pabrik rudal balistik, sistem pertahanan udara Iran, serta sejumlah komandan militer senior. Tel Aviv menyebut serangan ini sebagai “awal dari operasi panjang” untuk mencegah Teheran mengembangkan senjata nuklir.
Sementara itu, Badan Energi Atom Internasional (IAEA) mengatakan bahwa otoritas Iran telah memberi tahu mereka bahwa reaktor nuklir Bushehr tidak menjadi sasaran. IAEA juga menyebutkan bahwa fasilitas nuklir Fordow “tidak terpengaruh oleh serangan Israel sejauh ini.”
Badan itu juga mengungkapkan bahwa mereka “tidak melihat adanya peningkatan kadar radiasi di situs nuklir Natanz yang diserang oleh Israel.”
Namun, media “Israel” Yedioth Ahronoth mengutip sumber-sumber keamanan yang menyatakan bahwa “militer telah menghancurkan fasilitas nuklir Natanz milik Iran.”
Beberapa hari sebelumnya, Direktur Jenderal IAEA, Rafael Grossi, mengatakan bahwa kapasitas nuklir Iran tidak bisa dihancurkan hanya dengan satu serangan. Ia mengaku telah beberapa kali mengunjungi fasilitas-fasilitas tersebut dan menjelaskan bahwa akses menuju lokasi melewati sebuah terowongan spiral yang menurun sangat dalam ke bawah tanah.
Dalam konteks ini, sumber-sumber kepada jaringan ABC News menyebutkan bahwa Amerika Serikat kemungkinan akan memainkan peran logistik dan menyediakan informasi intelijen kepada “Israel”.
Jaringan CBS juga mengutip seorang pejabat AS yang mengatakan bahwa pemerintahan Presiden Donald Trump sedang “mengkaji opsi-opsi untuk mendukung aksi militer Israel terhadap Iran tanpa ikut memimpinnya secara langsung.” Opsi-opsi itu termasuk pengisian bahan bakar di udara dan pertukaran data intelijen.
Militer “Israel” mengumumkan bahwa puluhan jet tempur telah melaksanakan serangan awal ke jantung wilayah Iran, yang kemudian dilanjutkan oleh serangan dan pukulan tambahan.
Dalam pernyataan resmi pada Jumat pagi, militer menyebutkan bahwa 200 jet tempur telah dikerahkan dalam operasi tersebut, menyerang sekitar 100 target di berbagai wilayah Iran. Sekitar 300 bom digunakan dalam rangkaian serangan itu. Militer juga menyatakan bahwa jet-jet tempur masih terus menggempur fasilitas nuklir di Iran.
Perdana Menteri “Israel”, Benjamin Netanyahu — yang saat ini menjadi buronan Mahkamah Pidana Internasional — menyebut serangan tersebut sebagai “momen bersejarah dalam sejarah Israel.” Ia menegaskan bahwa tujuan dari operasi militer yang belum pernah terjadi sebelumnya ini adalah untuk menghancurkan fasilitas nuklir Iran.
Menteri Pertahanan “Israel”, Yisrael Katz, turut menyatakan bahwa militer “telah mencapai pencapaian besar dengan menargetkan para pemimpin Garda Revolusi, militer, intelijen, serta ilmuwan nuklir Iran.”
Ia menegaskan bahwa militer “Israel” akan terus melanjutkan operasi-operasinya guna menggagalkan program nuklir Iran dan menghapuskan berbagai ancaman terhadap Israel.
(Samirmusa/arrahmah.id)