Oleh Sri yanti
Ibu Rumah Tangga, Pegiat Literasi
Menurut data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Barat hingga Maret 2025, Kabupaten Bandung tercatat menjadi wilayah terdampak banjir terparah se Jabar. Banjir besar melanda beberapa kecamatan seperti Dayeuhkolot, Baleendah, Bojongsoang dan Rancaekek. Sedikitnya 8.043 rumah dan sejumlah fasilitas umum terendam, dengan ketinggian air mencapai 120 cm.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Barat pun mengamati terjadinya bencana tersebut. Hannah yang merupakan manajer advokasi dan kampanye lembaga ini menilai bahwa, banjir yang terjadi di wilayah Kabupaten Bandung diperparah oleh kebijakan terkait dengan mudahnya regulasi pembangunan, serta minimnya proses Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).
Resapan air di daerah hulu seperti ruang terbuka hijau, telah dialihfungsikan secara masif menjadi kawasan pemukiman, wisata, dan lahan bisnis lainnya. WALHI pun menyatakan bahwa, sampai saat ini pemerintahan daerah belum memiliki KLHS khusus untuk wilayah Bandung Raya, meskipun daerah ini ditetapkan sebagai pusat pengembangan kota teknopolis. Pihaknya pun mendesak agar Pemda segera menyusun lembaga kajian lingkungan tersebut, serta memperketat pengawasan terhadap pembangunan tata ruang, agar bencana banjir tidak terus berulang. (radarbandung.id, 8/5/2025)
Banjir sudah langganan ketika musim penghujan tiba, musibah ini kerap terjadi di berbagai daerah tak terkecuali di wilayah Kabupaten Bandung. Masalah banjir ini harus mendapat penanganan serius dari pemerintah, bukan hanya dianggap sebagai bencana yang terjadi secara alamiah saat curah hujan tinggi serta faktor geografis semata. Karena banjir yang terus menerus terulang sementara mitigasi seadanya membawa dampak buruk bagi masyarakat, keberlangsungan hidup mereka terganggu, kerugian materi, serta mengalami gangguan masalah kesehatan.
Banjir merupakan bencana ekologis, yang terjadi akibat adanya perubahan tatanan kehidupan ekologi yang mengalami gangguan, hal ini disebabkan oleh faktor-faktor yang saling mempengaruhi yaitu antara manusia, makhluk hidup, dan kondisi alam. Dengan demikian, intensitas hujan tinggi bukanlah penyebab utama terjadinya bencana ini, namun kerusakan oleh keserakahan dan tangan-tangan manusia.
Dari sisi masyarakat, banjir bisa terjadi karena kurangnya kesadaran mereka dalam menjaga alam. Seperti membuang sampah ke sungai, malas membersihkan lingkungan, saluran air, dan sebagainya. Sementara dari sisi lain bencana ini diperparah oleh adanya pengabaian terhadap perlindungan alam, seperti mudahnya regulasi alih fungsi lahan yang dilakukan oleh para pemangku kebijakan. Tidak sedikit lahan di daerah perbukitan telah diubah menjadi perumahan, villa, kawasan wisata dan sebagainya, dengan mengesampingkan analisis mengenai dampak terhadap lingkungannya. Resapan air menjadi hilang, hingga bencana menerjang.
Agar bencana banjir tidak terus berulang, dibutuhkan upaya yang tepat dan sungguh-sungguh, tidak cukup dengan hanya mengimbau masyarakat agar bisa menjaga lingkungan. Masyarakat memang sudah semestinya memiliki kesadaran untuk menjaga alam. Begitu juga dengan negara yang cakupannya lebih luas, seharusnya kebijakan yang dibuat tidak boleh serampangan, seperti kemudahan perizinan bagi oligarki atau para korporat, untuk mengubah lahan resapan menjadi lahan bisnis, yang merusak keseimbangan alam. Pertumbuhan ekonomi juga tidak bisa dijadikan alasan pembenaran proyek pembangunan, terlebih tidak memperhatikan dampak ekologis dalam jangka panjang keselamatan rakyat.
Saat terjadi bencana banjir, negara harus segera hadir dan bergerak cepat dalam memberikan pertolongan pada korban terdampak seperti, evakuasi korban, penyediaan tempat pengungsian, posko posko bantuan pangan, kesehatan dan sebagainya. Begitu pula pasca bencana pemerintah seharusnya membantu membangun kembali rumah-rumah dan fasilitas umum yang rusak, serta memulihkan psikis masyarakat yang bisa saja terganggu karena trauma setelah mengalami musibah. Karena negara adalah pihak yang paling bertanggung jawab terhadap kondisi keselamatan masyarakat.
Sayangnya pemerintah gagap untuk berbuat demikian. Karena solusi yang dijalankan tidak menyentuh akar persoalan. Penyebab mendasar banjir terus berulang adalah akibat penerapan sistem kapitalisme sekular. Kapitalisme merupakan cara pandang yang berorientasi pada manfaat atau keuntungan ekonomi semata. Buktinya alih fungsi lahan terus masif dilakukan dengan dalih pertumbuhan ekonomi. Namun di sisi lain, negara mengabaikan perannya sebagai pengurus rakyat, tapi justru menjadi pelayan para pemilik modal. Inilah buah pahit bagi rakyat dari penerapan sistem kapitalisme yang batil.
Hal di atas sangat berbanding terbalik dengan apa yang dilakukan oleh negara, dalam sistem pemerintahan Islam yang berasaskan aqidah shahih dari Sang Pencipta dan Pengatur manusia. Islam telah memberikan syariat terkait penjagaan lingkungan alam. Allah Swt. melarang manusia melakukan kerusakan terhadap lingkungan, sebagaimana firmanNya:
“Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanaman-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan.” (TQS. al Baqarah: 205)
Untuk menangani bencana ekologis seperti banjir, penguasa akan melakukan serangkaian upaya yang fundamental. Di awali dengan tindakan pencegahan agar musibah ini bisa diminimalisir di antaranya dengan membuat kebijakan pembangunan yang ramah lingkungan, dengan memperhatikan AMDAL. Dapat dipastikan dalam sistem Islam tidak akan terjadi masifnya alih fungsi lahan demi peningkatan perekonomian masyarakat atau negara. Karena untuk kestabilan ekonomi, pemerintah akan memanfaatkan sumber daya alam yang dikaruniakan oleh Allah Swt. dengan mekanisme pengelolaannya yang berbasis syariat Islam, demi mewujudkan kesejahteraan umat. Untuk mencegah terjadinya banjir negara juga akan membangun infrastruktur seperti bendungan, kanal, tanggul, reboisasi (penanaman hutan kembali), pemeliharaan daerah aliran sungai dari pendangkalan, relokasi, tata kota yang berbasis pada AMDAL, pemeliharaan kebersihan lingkungan dan sebagainya.
Pemerintah juga akan menetapkan kawasan tertentu sebagai hima (perlindungan), daerah resapan air dan kawasan penyangga yang tidak boleh digunakan untuk kepentingan lain apalagi lahan bisnis. Siapa saja yang berani mencemari dan berupaya merusak lingkungan, maka akan dikenakan sanksi yang tegas.
Ketika terjadi bencana, pemerintah akan melakukan langkah cepat dalam melakukan evakuasi, membuka akses jalan dan komunikasi dengan para korban, mempersiapkan lokasi pengungsian, dapur umum, posko kesehatan dan sebagainya. Adapun dari aspek rehabilitatif, penguasa akan melakukan recovery, yaitu manajemen pasca bencana, seperti memulihkan psikis korban agar senantiasa bersabar dengan setiap ketentuan Allah, memenuhi kembali kebutuhan pokok mereka seperti sandang, pangan, dan papannya.
Semua ini dilakukan oleh negara karena Islam menjadikan penguasa sebagai pengurus dan pelayan untuk kemaslahatan rakyat, termasuk melindungi mereka dari bencana seperti banjir. Dengan demikian, agar perlindungan seperti itu bisa dirasakan saat ini, maka umat harus berusaha mewujudkan kembali sistem pemerintahan Islam untuk diterapkan, hingga menjadi berkah bagi seluruh alam.
Wallahu a’lam bis shawwab