(Arrahmah.id) – Rakyat Amerika tidak antusias dengan kemungkinan perang dengan Iran. Jajak pendapat terbaru menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat menentang petualangan militer baru. Menurut data terbaru dari YouGov, hanya 5% publik yang mendukung perang dengan Iran, sementara 85% jelas-jelas menentang.
Sementara dukungan untuk operasi udara di kalangan pemilih Partai Republik terbatas, Demokrat dan independen sangat menentang gagasan tersebut. Menurut jajak pendapat Reuters/Ipsos, bahkan para pemilih Partai Republik yang pada awalnya mendukung gagasan tersebut semakin lama semakin menentangnya. Publik Amerika, yang masih menanggung warisan perang yang panjang dan melelahkan di Irak dan Afghanistan, hampir secara kolektif mengatakan “tidak” untuk membuka front baru.
Hubungan antara “Israel” dan AS sering digambarkan dalam kerangka kemitraan strategis dan mitos bahwa “Israel” adalah “satu-satunya negara demokrasi di Timur Tengah.” Namun, ketika kita mempelajari sejarah aliansi ini, kita menemukan contoh-contoh bahwa “Israel” kadang-kadang mencoba menyeret AS ke dalam perang demi kepentingan regionalnya sendiri. Sayangnya, tidak sulit untuk memprediksi bahwa “Israel” sekali lagi akan merusak keinginan rakyat Amerika untuk stabilitas ekonomi dan perdamaian internal dengan sebuah operasi bendera palsu, seperti dilansir Daily Sabah.
Peristiwa Lavon pada 1954 dan serangan USS Liberty pada 1967 adalah beberapa contoh yang paling terkenal dari pendekatan ini. Dalam Peristiwa Lavon, “Israel” menyuruh agen-agen Yahudi di Mesir untuk melakukan sabotase terhadap target-target Amerika dan Inggris, lalu menyalahkan kelompok-kelompok radikal di Mesir dalam upaya memprovokasi Barat untuk memihak kepada Mesir.
Akan tetapi, insiden USS Liberty jauh lebih berdarah dan kontroversial. Selama Perang Enam Hari, pesawat-pesawat tempur “Israel” mengebom sebuah kapal perang Amerika di perairan internasional, menewaskan 34 tentara Amerika dan melukai 171 lainnya. “Israel” meminta maaf, dengan alasan “kesalahan identifikasi”, dan membayar kompensasi. Namun, para pelaut di kapal tersebut menyatakan bahwa serangan itu disengaja, bahwa bendera Amerika terlihat jelas, dan bahwa sistem komunikasi kapal menjadi sasaran.
Kedua contoh ini menunjukkan bahwa ketika menyangkut persepsi “Israel” tentang ancaman regional dan doktrin keamanan, “Israel” bersedia mengorbankan sekutunya sekalipun. Strategi ini juga terlihat jelas dalam kebijakannya saat ini terhadap Iran. Program nuklir Iran, kekuatan proksi regional, dan permusuhan ideologisnya dipandang sebagai ancaman eksistensial bagi “Israel”. Namun, pemerintah Tel Aviv menganggap dukungan militer, diplomatik, dan teknologi AS sangat penting untuk terlibat dalam konflik habis-habisan dengan Iran.
Dalam konteks ini, muncul pertanyaan berikut: Mungkinkah “Israel” melakukan tindakan provokatif serupa untuk menarik AS ke jantung perang melawan Iran? Dalam skenario seperti itu, misalnya, seorang warga Amerika keturunan Iran dapat dipaksa untuk melakukan tindakan teroris. Atau sebuah serangan dapat diorganisir terhadap kapal dagang Amerika di Laut Merah, dengan Iran sebagai pihak yang disalahkan. Serangan siber terhadap target sipil dapat dilakukan dengan cara yang menciptakan kesan keterlibatan Iran, sehingga menimbulkan tekanan publik.
Meskipun ini hanyalah spekulasi, hal ini tidak sepenuhnya tidak masuk akal mengingat kejadian-kejadian di masa lalu. Insiden Lavon dan USS Liberty menunjukkan bahwa aliansi tidak selalu didasarkan pada rasa saling percaya, tetapi terkadang pada pertimbangan strategis.
Jangan salah: tujuan utama “Israel” melawan Iran, yang dipandangnya sebagai ancaman penting, adalah untuk menarik AS secara langsung ke dalam konflik. Melihat bagaimana mereka telah menyeret Donald Trump, yang terpilih sebagai presiden AS dengan janji “America First,” kita harus mengantisipasi bahwa mereka akan berusaha keras untuk mengubah orang yang mengkritik invasi Irak itu menjadi Dick Cheney yang lain. (haninmazaya/arrahmah.id)