Tauhid | Arrahmah.id https://www.arrahmah.id Informasi Dunia Islam Terdepan Sun, 01 Jan 2023 12:11:33 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.7.2 https://i0.wp.com/www.arrahmah.id/wp/images/stories/2022/12/arrahmahlogo2.jpeg?fit=32%2C32&ssl=1 Tauhid | Arrahmah.id https://www.arrahmah.id 32 32 47156980 Perbedaan Cinta dan Wala’ Dalam Islam https://www.arrahmah.id/perbedaan-cinta-dan-wala-dalam-islam/ Sun, 01 Jan 2023 10:23:56 +0000 https://www.arrahmah.id/?p=437967

(Arrahmah.id) – Dalam menjelaskan tauhid, sering orang memakai kalimat tauhid ( لا إله إلا الله ) tak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah sebagai tolok ukur penjelasan. Kata disembah sama dengan diberi ibadah atau ubudiyah. Dan salah satu jenis ubudiyah adalah cinta.

Lalu lahirlah frasa “tak ada yang boleh dicintai kecuali Allah” sebagai padanan frasa “tiada Tuhan kecuali Allah”. Frasa ini mudah dipahami oleh pendengar, tapi tidak akurat. Sebab jika penjelasan tauhid adalah tak ada yang boleh dicintai kecuali Allah, maka kita menjadi salah jika mencintai ibu, bapak, anak dan sebagainya. Padahal cinta kepada orang tua selain sebagai naluri manusia, ia juga bagian dari birrul walidain. Tentu ada yang salah di sini.

Pada sisi lain, wala’ dikampanyekan oleh kaum Liberal atau Pluralis agar tidak bersifat tunggal, tapi fleksibel. Jika ada Nasrani yang sedang Natal, dianjurkan mengucapkan selamat Natal. Jika salam, tak cukup dengan salam versi Islam, harus pula salam versi agama lain. Tindakan ini adalah refleksi wala’ yang ada di hati.

Begitu banyak simpang siur pemahaman soal cinta dan wala’. Karena itu, perlu ada penjelasan yang memadai terhadap kosa kata cinta dan wala’. Bagaimana menempatkan cinta dan wala’ dalam Islam. Apakah cinta sama dengan kesetiaan atau wala’ atau loyalitas? Jika beda, apa perbedaannya?

Cinta Itu Bisa Dibagi

Cinta adalah rasa suka yang ada di hati seseorang terhadap sesuatu. Kata yang paling sering dipakai adalah hubb ( حب ). Manusia punya potensi untuk mencintai banyak hal sekaligus. Misalnya, cinta terhadap rumah, mobil, uang dan sebagainya. Dalam mencintai sesama manusia juga bisa terjadi pada banyak orang. Seorang ayah bisa mencintai seluruh anaknya yang berjumlah 10 orang misalnya.

Demikian pula orang beriman. ia diminta mencintai banyak hal. Cinta terhadap Allah, Rasul-Nya, Al-Qur’an, As-Sunnah, Islam, Masjid, Sahabat Nabi saw dan sebagainya. Masing-masing dicintai meski dengan kadar cinta yang berbeda.

Rasulullah saw menggambarkan cintanya kepada beberapa orang:

عَنْ أَبِي عُثْمَانَ، قَالَ: حَدَّثَنِي عَمْرُو بْنُ العَاصِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : ” أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، بَعَثَهُ عَلَى جَيْشِ ذَاتِ السُّلاَسِلِ، فَأَتَيْتُهُ فَقُلْتُ: أَيُّ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَيْكَ؟ قَالَ: (عَائِشَةُ) ، فَقُلْتُ: مِنَ الرِّجَالِ؟ ، فَقَالَ: (أَبُوهَا)، قُلْتُ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: ( ثُمَّ عُمَرُ بْنُ الخَطَّاب )، فَعَدَّ رِجَالًا”. رواه البخاري في “صحيحه” (رقم/3662) ، ومسلم في “صحيحه” (رقم/2384) .

Amru bin Ash ra menuturkan bahwa Nabi saw mengutusnya dalam ekpedisi Dzat Salasil: Aku menemui Nabi saw, lalu aku tanya: Siapa orang yang paling Anda cintai ? Nabi saw: Aisyah. Aku: Siapa dari laki-laki? Nabi saw: Ayahnya. Aku: Lalu siapa? Nabi saw: Umar bin Khattab. Nabi saw meneruskan dengan menyebut nama-nama lain. (HR. Bukhari no. 3662 dan Muslim no. 2384)

Dalam hadits yang lain Nabi saw mengungkapkan cintanya kepada banyak hal:

قالَ رسولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم (حُبّبَ إِلَيَّ مِنْ دنياكُمُ النّساءُ والطيبُ وجُعِلَتْ قرةُ عينِي في الصّلاةِ)

Rasulullah saw bersabda: Dijadikan hatiku mencintai beberapa hal dari duniamu: wanita dan parfum, dan dijadikan hatiku nyaman dengan shalat. (HR. Hakim)

Dua hadits ini cukup menjadi bukti bahwa di hati Nabi saw ada banyak cinta. Semuanya diungkapkan dengan kata hubb ( حب ). Sudah pasti Nabi saw cinta kepada Allah, Al-Qur’an, orang tua, kerabat, dan seterusnya. Selain itu, sebagaimana dalam dua hadits di atas, ditambah cinta terhadap Aisyah dan tentu saja istri-istrinya yang lain, Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan parfum.

Jika di hati Nabi saw sebagai panutan terdapat cinta yang bercabang terhadap banyak hal, tentu umatnya juga dibolehkan untuk memiliki cinta terhadap banyak hal. Selain bercabang, cinta juga memiliki prosentase masing-masing. Ketika Nabi saw ditanya, siapa orang yang paling dicintai, beliau menjawab: Aisyah. Berarti cinta Nabi saw terhadap Aisyah lebih besar dibanding cintanya terhadap orang lain, misalnya istri yang lain. Lalu cinta Nabi saw terhadap Abu Bakar As-Shiddiq juga lebih besar dibanding cintanya terhadap Umar bin Khattab dan orang-orang lain.

Karena itu, cinta bisa diperbandingkan. Besar mana cinta Nabi saw terhadap Aisyah ra atau terhadap Ummu Salamah ra yang sama-sama istrinya? Jelas jawabannya: Aisyah ra. Demikian pula, besar mana cinta Nabi saw terhadap Abu Bakar ra atau Umar bin Khattab yang sama-sama sahabatnya? Jelas jawabannya: Abu Bakar.

Perbandingan cinta tak terbatas, bisa antara siapa saja dan apa saja. Tapi ujung dari semua itu, Allah harus ditempatkan sebagai yang paling dicintai, tak boleh dikalahkan oleh cinta terhadap siapapun dan apapun. Inilah makna firman Allah:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَّتَّخِذُ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ اَنْدَادًا يُّحِبُّوْنَهُمْ كَحُبِّ اللّٰهِ ۗ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَشَدُّ حُبًّا لِّلّٰهِ ۙوَلَوْ يَرَى الَّذِيْنَ ظَلَمُوْٓا اِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَۙ اَنَّ الْقُوَّةَ لِلّٰهِ جَمِيْعًا ۙوَّاَنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعَذَابِ ١٦٥ ( البقرة/2: 165)

Di antara manusia ada yang menjadikan (sesuatu) selain Allah sebagai tandingan-tandingan (bagi-Nya) yang mereka cintai seperti mencintai Allah. Adapun orang-orang beriman cinta mereka paling hebat (tak ada tandingannya) kepada Allah. Sekiranya orang-orang yang berbuat zalim itu melihat, ketika mereka melihat azab (pada hari Kiamat), bahwa kekuatan itu semuanya milik Allah dan bahwa Allah sangat keras azab-Nya, (niscaya mereka menyesal). (Al-Baqarah/2:165)

Ayat ini menerangkan bahwa cinta orang beriman paling besar kepada Allah dengan tanpa tandingan. Sementara cinta kaum musyrik terbagi, cinta kepada berhala-berhala pujaan mereka sama besarnya dengan cinta kepada Allah.

Jika kita kombinasikan antara ayat ini dan hadits Nabi saw di atas, diperoleh kesimpulan bahwa seorang mukmin tidak dilarang untuk mencintai selain Allah, seperti cinta terhadap wanita atau parfum. Atau cinta terhadap rumah, mobil, pekarangan, perhiasan dan sebagainya.

Cinta yang dilarang adalah memperbandingkan cinta kepada Allah dengan selain-Nya. Atau meletakkan cinta kepada selain Allah sama besarnya dengan cinta kepada Allah. Apalagi meletakkan cinta kepada selain Allah lebih besar dibanding cinta kepada Allah. Inilah makna dari ayat di bawah ini:

قُلْ اِنْ كَانَ اٰبَاۤؤُكُمْ وَاَبْنَاۤؤُكُمْ وَاِخْوَانُكُمْ وَاَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيْرَتُكُمْ وَاَمْوَالُ ِۨاقْتَرَفْتُمُوْهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسٰكِنُ تَرْضَوْنَهَآ اَحَبَّ اِلَيْكُمْ مِّنَ اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ وَجِهَادٍ فِيْ سَبِيْلِهٖ فَتَرَبَّصُوْا حَتّٰى يَأْتِيَ اللّٰهُ بِاَمْرِهٖۗ وَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الْفٰسِقِيْنَ ࣖ ٢٤ ( التوبة/9: 24)

Katakanlah (Nabi Muhammad), “Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, pasangan-pasanganmu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, dan perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, serta tempat tinggal yang kamu sukai lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan daripada berjihad di jalan-Nya, tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik. (At-Taubah/9:24)

Jadi kita tidak dilarang mencintai selain Allah sepanjang tidak melanggar ketentuan cinta yang diatur dalam Islam. Satu hati bisa diisi dengan banyak cinta, dengan prosentase masing-masing sesuai arahan Islam. Cinta kepada satu hal tidak harus membatalkan cinta kepada yang lain. Cinta kepada Allah tak harus membatalkan cinta kepada parfum, wanita, mobil, rumah dan sebagainya, selagi tertata dengan benar.

Wala’ Itu Tunggal

Wala’ adalah kesetiaan atau loyalitas. Kesetiaan bisa berupa rasa dalam hati, bisa tindakan di luar hati, bisa juga kombinasi keduanya. Ini jika kita mengukur kesetiaan dengan kaca mata manusia. Tapi jika kesetiaan diukur menurut pandangan Allah, maka kesetiaan dalam hati wajib ada, lalu dibuktikan dengan kesetiaan lahir (luar hati).

Seorang prajurit pasti setia terhadap komandannya. Apapun perintahnya dia laksanakan. Jika kita mengukur kesetiaan sang prajurit, kita hanya bisa melihat aspek lahirnya, sebab kita tak bisa membaca hatinya. Seandainya hatinya benci terhadap sang komandan, sepanjang si prajurit tetap setia dan taat secara lahir, sudah cukup hal itu menjadi bukti kesetiaan. Berarti, manusia dalam mengukur kesetiaan (wala) manusia lain, hanya mengandalkan indikator lahir, tanpa batin.

Namun kesetiaan manusia jika diukur oleh Allah, karena Allah Maha Tahu isi hati manusia, maka Allah memasukkan dua aspek sekaligus, yaitu kesetiaan batin, dan kesetiaan lahir. Kesetiaan batin wujudnya adalah cinta dan kecondongan hati. Sementara kesetiaan lahir adalah tindakan non hati yang mencerminkan kesetiaan hati tersebut.

Berbeda dengan cinta, kesetiaan itu bersifat tunggal. Sebab orang hanya bisa setia pada satu pihak. Orang tidak mungkin melaksanakan perintah yang berbeda dari dua pihak pada waktu bersamaan. Ia harus memilih, melaksanakan perintah si A atau si B. Sementara cinta, ia bisa membaginya di saat bersamaan. Sebab cinta hanya rasa dalam hati, tak harus ada konsekwensi tindakan non hati.

Seseorang dimungkinkan punya cinta dalam hati kepada dua atau tiga klub sekaligus. Misalnya Barcelona, MU dan Juventus. Tapi saat dua klub yang sama-sama ia cintai itu bertanding – misalnya Barcelona vs MU bertemu di final piala Champion – tentu ia dipaksa oleh keadaan untuk memilih. Hatinya pasti muncul kecondongan klub mana yang lebih dia inginkan untuk menang. Cinta bisa diberikan terhadap lebih dari satu obyek, tapi kecondongan atau keperpihakan hati pasti hanya kepada satu obyek. Inilah perumpamaan antara cinta dengan wala’.

Inilah alasan mengapa wala’ dalam Al-Qur’an tak pernah diperbandingkan. Wala’ ditampilkan dalam diksi pembatasan. Simak ayat berikut:

اِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللّٰهُ وَرَسُوْلُهٗ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوا الَّذِيْنَ يُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكٰوةَ وَهُمْ رٰكِعُوْنَ ٥٥ ( الماۤئدة/5: 55)

Wala’mu (kesetiaanmu) itu hanyalah untuk Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman yang menegakkan salat dan menunaikan zakat seraya tunduk (kepada Allah). (Al-Ma’idah/5:55)

Ayat ini dimulai dengan diksi ( إنما ) yang memiliki arti hanya atau cuma atau saja. Ikatan kesetiaan dibatasi hanya untuk Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman. Sementara orang beriman yang boleh diberi wala’ hanyalah yang berkarakter menegakkan shalat, menunaikan zakat dan selalu ruku atau tunduk kepada Allah.

Pembatasan pada tiga pihak ini tidak bersifat kontradiktif, sebab semuanya pada hakekatnya setia kepada obyek yang satu yaitu Allah. Ketesiaan kepada Rasul-Nya dan orang beriman hanya turunan dari kesetiaan kepada Allah, sebab Rasul-Nya dan orang beriman sama-sama memberikan kesetiaan kepada Allah.

Mari kita lihat pembandingnya di ayat yang lain.

بَشِّرِ الْمُنٰفِقِيْنَ بِاَنَّ لَهُمْ عَذَابًا اَلِيْمًاۙ ١٣٨ ۨالَّذِيْنَ يَتَّخِذُوْنَ الْكٰفِرِيْنَ اَوْلِيَاۤءَ مِنْ دُوْنِ الْمُؤْمِنِيْنَ ۗ اَيَبْتَغُوْنَ عِنْدَهُمُ الْعِزَّةَ فَاِنَّ الْعِزَّةَ لِلّٰهِ جَمِيْعًاۗ ١٣٩ ( النساۤء/4: 138-139)

  1. Berilah kabar ‘gembira’ kepada orang-orang munafik bahwa sesungguhnya bagi mereka azab yang sangat pedih. 139. (Yaitu) orang-orang yang memberikan wala’ kepada orang-orang kafir dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kemuliaan di sisi orang kafir itu? (Ketahuilah) sesungguhnya semua kemuliaan itu milik Allah. (An-Nisa’/4:138-139)

Ayat ini menerangkan, orang munafiq dimurkai Allah karena memberikan wala’ kepada orang kafir dengan mengabaikan orang beriman. Inilah karakter wala’ yang bersifat tunggal tak bisa dibagi, berbeda dengan cinta. Wala’ munafiq terhadap orang kafir bersifat meniadakan wala’nya terhadap orang beriman.

Karakter khas orang munafiq adalah menjaga hubungan kepada kedua pihak; mukmin dan kafir. Ia ingin dicitrakan berada di tengah. Moderat. Pluralis. Bhinekais. Liberalis. Humanis. Orang yang luwes dalam pergaulan dan kesetiaan. Kadang ke mukmin kadang ke kafir, tergantung kalkulasi keuntungan yang akan kembali pada dirinya.

Namun ayat ini membantah pencitraan yang dilakukan si munafiq itu. Jika ia memberikan wala’ kepada kafir, itu artinya membatalkan wala’ terhadap mukmin. Sebab tidak ada wala’ ganda. Inilah makna ayat di bawah ini:

مَا جَعَلَ اللّٰهُ لِرَجُلٍ مِّنْ قَلْبَيْنِ فِيْ جَوْفِهٖ ۚوَمَا جَعَلَ اَزْوَاجَكُمُ الّٰـِٕۤيْ تُظٰهِرُوْنَ مِنْهُنَّ اُمَّهٰتِكُمْ ۚوَمَا جَعَلَ اَدْعِيَاۤءَكُمْ اَبْنَاۤءَكُمْۗ ذٰلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِاَفْوَاهِكُمْ ۗوَاللّٰهُ يَقُوْلُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِى السَّبِيْلَ ٤ ( الاحزاب/33: 4)

Allah tidak menjadikan bagi seseorang dua hati dalam rongga (dada)nya, Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zihar itu sebagai ibumu, dan Dia pun tidak menjadikan anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataan di mulutmu saja. Allah mengatakan sesuatu yang hak dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). (Al-Ahzab/33:4)

Ayat ini berbicara tentang hubungan wala’ dalam keluarga. Bahwa anak angkat tetap harus diposisikan sebagai anak angkat, tak bisa dirubah menjadi anak kandung. Meski wala’ dalam keluarga, tapi Al-Qur’an memberikan kesamaan pandangan bahwa wala’ pada dasarnya bersifat tunggal baik dalam masalah ideologi maupun keluarga. Wala’ tak bisa dibagi, berbeda dengan cinta. Satu rongga dada hanya bisa diisi satu ikatan wala’, mustahil untuk diisi dengan dua ikatan wala’ sekaligus.

Karena itu, siapapun yang memenunjukkan wala’ terhadap kaum kafir, baik wala’ batin maupun wala’ lahir atau kombinasi keduanya, maka wala’nya kepada Allah, Rasul-Nya dan orang beriman dinyatakan batal. Pembatalan wala’ ini diberikan contohnya oleh ayat di bawah ini:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُوْدَ وَالنَّصٰرٰٓى اَوْلِيَاۤءَ ۘ بَعْضُهُمْ اَوْلِيَاۤءُ بَعْضٍۗ وَمَنْ يَّتَوَلَّهُمْ مِّنْكُمْ فَاِنَّهٗ مِنْهُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظّٰلِمِيْنَ ٥١ ( الماۤئدة/5: 51)

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memberikan wala’ kepada orang Yahudi dan Nasrani, sebab sebagian mereka terikat wala’ dengan sebagian yang lain. Siapa di antara kamu yang memberikan wala’ kepada mereka, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim. (Al-Ma’idah/5:51)

Ayat ini menjelaskan, jika mukmin memberikan wala’ kepada orang Yahudi atau Nasrani, maka Allah akan golongkan ia bersama Yahudi atau Nasrani. Mengapa demikian? Sebab wal’a bersifat tunggal, tak bisa dibagi. Ketika orang beriman memberikan wala’ kepada kafir, saat itu juga wala’nya kepada mukmin dinyatakan batal. Dan wala’ terhadap mukmin satu paket dengan wala’ kepada Allah dan Rasul-Nya, karenanya jika dinyatakan batal, maka batal terhadap semuanya.

Lalu statusnya apa jika seorang mukmin wala’nya kepada Allah, Rasul-Nya dan orang beriman dinyatakan batal? Ayat berikutnya memberi penjelasan:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مَنْ يَّرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِيْنِهٖ فَسَوْفَ يَأْتِى اللّٰهُ بِقَوْمٍ يُّحِبُّهُمْ وَيُحِبُّوْنَهٗٓ ۙاَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ اَعِزَّةٍ عَلَى الْكٰفِرِيْنَۖ يُجَاهِدُوْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَلَا يَخَافُوْنَ لَوْمَةَ لَاۤىِٕمٍ ۗذٰلِكَ فَضْلُ اللّٰهِ يُؤْتِيْهِ مَنْ يَّشَاۤءُۗ وَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ ٥٤ ( الماۤئدة/5: 54)

Wahai orang-orang yang beriman, siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka Allah akan mendatangkan suatu kaum(pengganti) yang Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang-orang mukmin dan bersikap tegas terhadap orang-orang kafir. Mereka berjihad di jalan Allah dan tidak takut pada celaan orang yang mencela. Itulah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki. Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Al-Ma’idah/5:54)

Ayat ini menjelaskan, jika ada mukmin yang murtad maka Allah akan datangkan orang lain yang akan menggantikan posisinya. Tentu saja dengan karekter yang bertolak belakang. Tidak mungkin Allah datangkan pengganti dengan karakter yang sama. Sebab didatangkannya sosok pengganti adalah dalam rangka mengoreksi kesalahan orang sebelumnya. Jika karekaternya sama, percuma diganti.

Sebagai contoh, seorang suami menceraikan istrinya karena sebuah pelanggaran. Tentu ketika mencari istri lagi sebagai pengganti, pasti mencari yang mengoreksi sebelumnya. Jika sebelumnya boros, pasti mencari istri baru yang pandai mengatur keuangan. Jika sebelumnya selingkuh, pasti mencari istriu baru yang setia. Begitulah sunnatullah kehidupan.

Ayat tersebut tidak menyebutkan apa kesalahan si mukmin sehingga dianggap murtad oleh Allah. Tapi hal itu bisa disimpulkan dari sosok pengganti yang Allah datangkan. Mari kita analisa ciri-ciri sosok pengganti:

Pertama, Allah mencintai mereka dan mereka mencintai Allah. Bukankah timbal balik cinta merupakan akar wala’?

Kedua, bersikap lemah lembut atau penyayang kepada mukmin dan tegas kepada kafir. Bukankah ini refleksi lahir dari wala’ yang ada di hatinya?

Ketiga, berjihad di jalan Allah yang maksudnya adalah berperang di jalan Allah. Bukanlah jihad penuh resiko, baik harta dan nyawa. Ketika seseorang sukarela berangkat jihad, bukanlah itu bermakna puncak pengorbanan kepada Allah? Dan itu artinya cerminan wala’ yang ada di hatinya?

Keempat, tidak takut celaan orang yang mencela demi sang Kekasih yaitu Allah SWT. Bukankah ini mental yang lahir dari wala’ yang ada dalam hati?

Jadi ayat tersebut secara tidak langsung ingin mengatakan bahwa siapapun mukmin yang mencintai kafir dan orang kafir mencintai mereka (kebalikan dari dicintai dan mencintai Allah), hatinya lebih condong kepada kafir dan galak kepada mukmin, enggan berkorban jiwa raga demi membela Allah, dan serba takut mendapat cibiran di jalan Allah, maka dianggap murtad oleh Allah. Sebab sikap-sikap tersebut menunjukkan bahwa wala’nya bukan untuk Allah tapi untuk musuh Allah.

Mukmin yang punya karakter pengkhianat tersebut disingkirkan oleh Allah, tidak lagi diakui sebagai loyalis Allah. Dalam dunia partai, dipecat oleh partai karena terbukti main mata dengan partai lain. Meski yang bersangkutan masih pakai atribut partai, tapi partai sudah berlepas diri darinya.

Jadi betapa seriusnya wala’ ganda. Siapapun yang punya wala’ ganda; satu kaki bersama mukmin dan kaki yang lain bersama kafir, maka Allah akan batalkan wala’nya kepada mukmin dan yang diakui hanya wala’ kepada kafir. Sebab Allah itu idealis, tak mau diduakan atau dikhianati. Allah tidak bisa menerima orang yang bermain-main dalam masalah loyalitas.

Konsistensi Al-Qur’an dalam memandang wala’ sebagai kesetiaan tunggal bisa dilihat di bawah ini:

اَللّٰهُ وَلِيُّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا يُخْرِجُهُمْ مِّنَ الظُّلُمٰتِ اِلَى النُّوْرِۗ وَالَّذِيْنَ كَفَرُوْٓا اَوْلِيَاۤؤُهُمُ الطَّاغُوْتُ يُخْرِجُوْنَهُمْ مِّنَ النُّوْرِ اِلَى الظُّلُمٰتِۗ اُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ ࣖ ٢٥٧ ( البقرة/2: 257)

Allah adalah wali (ikatan wala’) orang-orang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari aneka kegelapan menuju cahaya (iman). Sedangkan orang-orang kafir, wali-wali (ikatan wala’) mereka adalah taghut. Mereka (taghut) mengeluarkan mereka (orang-orang kafir itu) dari cahaya menuju aneka kegelapan. Mereka itulah para penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya. (Al-Baqarah/2:257)

Ayat ini menjelaskan bahwa garis loyalitas mukmin adalah Allah. Sementara garis loyalitas kafir adalah Thaghut dengan beragam versinya, seperti berhala, dewa dan sebagainya. Garis loyalitas itu tunggal, tak bisa ganda apalagi lebih.

Suporter Persija saja punya semboyan loyalitas tanpa batas terhadap klubnya. Loyalitas tunggal. Jika terhadap Persija orang bisa memahami, tentu ketika Allah meminta loyalitas tunggal lebih harus bisa dipahami. Sebab Allah adalah Rabbul Alamin, Pencipta jagat raya. Sudah sepantasnya Allah meminta itu. Dan sudah wajar jika Allah menganggap murtad siapapun yang punya loyalitas ganda.

Tauhid Cinta dan Tauhid Wala’

Mentauhidkan Allah dalam bab cinta adalah mencintai Allah dengan tanpa memperbandingkan cinta itu dengan selain Allah. Tapi bukan berarti tidak boleh mencintai yang lain. Kita masih boleh mencintai selain Allah dalam porsi yang secukupnya, seperti cinta terhadap wanita dan parfum. Sementara memberikan porsi cinta kepada musuh atau tandingan Allah sama sekali dilarang, seperti berhala dan semacamnya.

Adapun tauhid dalam bab wala’ adalah memberikan kesetiaan dan loyalitas tunggal hanya kepada Allah dan turunannya yaitu Rasul-Nya dan orang-orang beriman. Kita dilarang memberikan wala’ kepada selain Allah apalagi musuh Allah, sebab hal itu bermakna membatalkan wala’ kepada Allah. Pada akhirnya yang bersangkutan akan diberi status murtad oleh Allah.

Mentauhidkan Allah bukan hanya menganggap Allah tunggal, one and anly secara jumlah. Tapi juga menjadikan Allah sebagai one and only dalam masalah loyalitas. Mari kita jaga wala’ kita. Jangan sampai kita menyekutukan Allah dalam hal wala’ jika tak ingin ‘dipecat’ oleh Allah.

والله أعلم بالصواب

@elhakimi – 01012023

(arrahmah.id)

]]>
437967
Apakah Lebih Utama Berdoa Diangkatnya Musibah atau Yang Lebih Utama Bersabar? https://www.arrahmah.id/apakah-lebih-utama-berdoa-diangkatnya-musibah-atau-yang-lebih-utama-bersabar/ Tue, 18 Oct 2022 12:48:22 +0000 https://www.arrahmah.id/?p=433043

(Arrahmah.id) – Pertanyaan : Apakah dibolehkan berdoa agar Allah Azza Wa jalla mengangkat musibah atau yang lebih utama itu bersabar?

Teks Jawaban :

Alhamdulillah.

Tidak mengapa berdoa agar musibah diangkat, bahkan hal itu yang lebih utama. Karena Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam menganjurkan untuk meminta kesehatan seraya dalam sabdanya:

لَا تَتَمَنَّوْا لِقَاءَ الْعَدُوِّ وَسَلُوا اللَّهَ الْعَافِيَةَ (رواه البخاري، رقم 7237، ومسلم، رقم 1742)

“Jangan berharap bertemu musuh. Mohonlah keselamatan kepada Allah.” (HR. Bukhari, no. 7237 dan Muslim, no. 1742)

Biasanya doa Rasulullah sallallahu alaihi wa sallalm ketika menjenguk orang sakit adalah:

اللَّهُمَّ أَذْهِبْ الْبَأْسَ رَبَّ النَّاسِ ، وَاشْفِ ، فَأَنْتَ الشَّافِي ، لَا شِفَاءَ إِلَّا شِفَاؤُكَ ، شِفَاءً لَا يُغَادِرُ سَقَمًا (رواه الترمذي، رقم 3565 وصححه الألباني في صحيح الترمذي)

“Ya Allah Tuhan kami, hilangkan penyakit, Tuhan seluruh manusia, sembuhkan dia, karena Engkau adalah yang Maha Bisa menyembuhkan. Tidak ada kesembuhan kecuali dari kesembuhan-MU, kesembuhan total yang tidak tersisa penyakitnya.” (HR. Tirmizi, no 3565, dishahihkan oleh Al-Albany dalam Shahih Tirmizi)

 

Utsman bin Abil Ash mendatangi Rasulullah sallallahu alihi wa sallam mengeluhkan sakit yang dideritanya. Maka Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

“Letakkn tangan anda di bagian tubuh yang sakit, lalu ucapkan ‘Bismillah’ tiga kali. Kemudian baca doa ini tujuh kali;

أَعُوذُ بِاللَّهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ (رواه مسلم، رقم 2202)

 “Aku berlindung kepada Allah dan kekuasaan-Nya dari keburukan apa yang aku dapatkan dan waspadai.” (HR. Muslim, no. 2202)

Allah menyebutkan tentang hamba pilihannya yaitu para Nabi alaihimus salam, bahwa mereka berdoa agar diangkat kerusakan. Allah ta’ala berfirman:

وَأَيُّوبَ إِذْ نَادَى رَبَّهُ أَنِّي مَسَّنِي الضُّرُّ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ. فَاسْتَجَبْنَا لَهُ

سورة الأنبياء: 83-84

“dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya: “(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang. Maka Kamipun memperkenankan seruannya itu,” (QS. Al-Anbiya: 83-84)

Firman Allah ta’ala:

وَذَا النُّونِ إِذْ ذَهَبَ مُغَاضِبًا فَظَنَّ أَنْ لَنْ نَقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنْ الظَّالِمِينَ . فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَنَجَّيْنَاهُ مِنْ الْغَمِّ وَكَذَلِكَ نُنْجِي الْمُؤْمِنِينَ

سورة الأنبياء: 87-88

“Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: “Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.” Maka Kami telah memperkenankan doanya dan menyelamatkannya dari pada kedukaan. Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Anbiya: 87-88)

Terdapat riwayat bahwa Nabi sallallahu alaihi wa sallam ketika disihir oleh Labid bin Al-A’shom, beliau berdoa kepada Tuhannya Tabaroka wa ta’ala agar disembuhkan dari bencana ini.

Diriwayatkan oleh Muslim, (2189) dari Aisyah radhiallahua’nha berkata:

سَحَرَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَهُودِيٌّ مِنْ يَهُودِ بَنِي زُرَيْقٍ ، يُقَالُ لَهُ : لَبِيدُ بْنُ الْأَعْصَمِ . قَالَتْ : حَتَّى كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّهُ يَفْعَلُ الشَّيْءَ وَمَا يَفْعَلُهُ ، حَتَّى إِذَا كَانَ ذَاتَ يَوْمٍ أَوْ ذَاتَ لَيْلَةٍ دَعَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، ثُمَّ دَعَا ، ثُمَّ دَعَا ، ثُمَّ قَالَ: يَا عَائِشَةُ ، أَشَعَرْتِ أَنَّ اللَّهَ أَفْتَانِي فِيمَا اسْتَفْتَيْتُهُ فِيهِ…… إلخ الحديث

“Rasulullah sallallahua’laihi wa sallaam disihir oleh Orang Yahudi dari Bani Zuraiq : Labid bin Al-A’shom. Dia (Aisyah) berkata, “Sampai Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam berkhayal bahwa dia melakukan sesuatu padahal beliau tidak melakukannya. Sampai suatu hari atau suatu malan Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam berdoa kemudian berdoa dan berdoa hingga dia mengatakan, “Wahai Aisyah, apakah engkau merasakan bahwa Allah memberikan fatwa kepadaku sebagaimana fatwa yang aku minta kepadanya….” (hingga hadits seterusnya)

An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ungkapan ‘Sampai suatu hari atau suatu malan Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam berdoa kemudian berdoa dan berdoa’ ini merupakan dalil dianjurkan berdoa ketika ditimpa urusan yang tidak disukai, dan berdoa berulang-ulang serta kembali kepada Allah dengan sebaik-baiknya.

Dari sini tampak, bahwa tidak ada kontradiksi antara berdoa agar diangkat musibah dengan kesabaran. Karena Allah ta’ala memerintahkan kita berdoa kepada-Nya dan merendahkan diri kepada-Nya dan doa kita kepada-Nya merupakan ibadah. Allah ta’ala berfirman:

وَقَالَ رَبُّكُمْ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ

سورة غافر: 60

“Dan Tuhanmu berfirman: ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan kabulkan kepadamu.” (QS. Ghafir: 60)

Dialah yang memerintahkan kita bersabar dan menjanjikan pahala yang banyak. Maka Allah berifman:

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

سورة الزمر: 10

“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah Yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10)

 

Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam berdoa kepada Tuhannya, padahal beliau adalah manusia paling sempurna dari sisi kesabarannya. Dan paling ridha terhadap ketentuan Allah. hal itu menunjukkan bahwa berdoa tidak menafikan kesabaran. Karena sabar adalah menahan diri dari mengeluh dan tidak menolak takdir Allah. Tidak ada penghalang yang menggabungkan pada diri seorang hamba antara dua ibadah sabar dan berdoa. Bahkan hal itu lebih utama dan lebih mulia. Dan itu adalah kondisi nabi kita Muhammad sallallahua’alaihi wa sallam .

Kita memohon kepada Alah ta’ala agar diberi ilham untuk dapat memahami agama.

Wallahua’lam

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam

 

(islamqa/arrahmah.id)

]]>
433043
Faktor Eksternal Perusak Iman https://www.arrahmah.id/faktor-eksternal-perusak-iman/ Fri, 18 Mar 2022 09:00:43 +0000 https://www.arrahmah.id/?p=423683

(Arrahmah.com) – Iman seorang mukmin bisa bertambah dan bisa pula berkurang. Ada beberapa hal yang bisa merusak iman seseorang, baik menyebabkan berkurang atau bahkan membatalkan iman. Selain faktor internal yang berasal dari dalam diri manusia sendiri, ada faktor eksternal yang berasal dari luar yang bisa merusak keimanan seseorang. Berikut akan disebutkan hal-hal yang bisa merusak iman yang merupakan faktor eksternal.

Faktor Pertama: Godaan Setan

Setan sangat besar dan dahsyat bahayanya bagi manusia. Dia merupakan musuh yang paling keras permusuhannya kepada manusia. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوّاً إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ

“Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu. Jadikanlah dia musuhmu, karena sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.“ (QS. Fathir: 6)

Allah Ta’ala memperingatkan keras tentang bahaya godan setan. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ وَمَن يَتَّبِعْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهُ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاء وَالْمُنكَرِ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya setan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar.“ (QS. An-Nur: 21)

Di antara dampak nyata bahaya setan adalah dia senantiasa berada di setiap jalan yang ditempuh manusia, baik itu berupa jalan ketaatan maupun jalan kemaksiatan. Allah Ta’ala berfirman tentang setan,

لأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ ثُمَّ لآتِيَنَّهُم مِّن بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَن شَمَآئِلِهِمْ وَلاَ تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ

“Iblis menjawab, ‘Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, saya akan mendatangi mereka dari muka, dari belakang mereka, dari kanan, dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).’“ (QS. Al A’raf: 16-17)

Adapun di jalan ketaatan, maka dia akan membuat seseorang mejadi patah semangat dalam beramal dan akhirnya meninggalkannya. Sedangkan di jalan kemaksiatan, maka dia akan memotivasi dan medorong manusia untuk terus melakukannya. Ini merupakan godaan yang sangat berbahaya bagi iman seseorang.

Faktor Kedua: Dunia dengan Berbagai Bentuk Fitnahnya

Ini juga merupakan faktor berbahaya yang bisa megurangi iman seseorang. Lebih-lebih jika dunia sudah menjadi cita-cita terbesar dan puncak dari ilmu seorang hamba. Sesuai dengan kadar ketamakannya terhadap dunia dan keinginan dirinya dengan kenikmatan dunia, maka akan terasa bertambah berat pula bagi dirinya untuk melakukan ketaatan dan ibadah. Allah Ta’ala memperingatkan kita dari fitnah ini dengan peringatan yang keras. Allah Ta’ala berfirman,

اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرّاً ثُمَّ يَكُونُ حُطَاماً وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِّنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan, suatu yang melalaikan, perhiasan, bermegah-megah antara kamu, serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanaman-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.“ (QS. Al Hadid: 20) Ayat-ayat semisal ini banyak jumlahnya di dalam Al-Qur’an.

Ada dua perkara yang bisa membantu seorang hamba untuk meninggalkan dunia dan bersikap zuhud darinya sehingga dirinya hanya akan mencari apa yang ada di sisi Allah dan negeri akhirat:

Pertama, memperhatikan bagaimana singkatnya kehidupan dunia, yang bisa lenyap seketika dan tidak kekal. Setiap hamba pasti akan berpisah dengannya cepat atau lambat.

Kedua, memperhatikan akhirat, yang akan datang dalam waktu dekat. Inilah negeri tempat tinggal sesungguhnya, yang lebih baik dan lebih kekal daripada dunia.

Jika seorang hamba benar-benar memperhatikan dan merenungi dua hal di atas, niscaya dia akan mendapatkan keberuntungan yang besar. Dia akan berhati-hati dengan berbagi fitnah yang ada di dunia dan akan fokus mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat.

Faktor Ketiga: Teman yang Buruk

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa memperingatkan dari bahaya teman dekat yang buruk dan rusak. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

المرء على دين خليله فلينظر أحدكم من يخالل

“Agama seseorang sesuai dengan agama teman dekatnya. Hendaklah kalian melihat siapakah yang menjadi teman dekatnya.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, shahih)

Oleh karena itu, hendaknya seorang mukmin tidak berteman dengan seseorang, kecuali dengan pertemanannya tesebut akan membuahkan kebaikan dan kemanfaatan untuk agamanya. Dia hendaknya waspada dalam bergaul dengan siapapun.

Fudhail bin ‘Iyyadh rahimahullah mengatakan, “Seorang mukmin bukanlah orang yang suka duduk dengan siapa saja yang dia inginkan.”

Sufyan rahimahullah bekata, “Hal yang paling akan membuat rusak atau membuat baik sesorang adalah pertemanan.“

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Lihatlah seseorang dengan siapa teman dekatnya, karena tidaklah dia memilih teman kecuali dengan yang dikaguminya.“

Berhati-hatilah dalam memilah dan memilih teman bergaul. Bergaul dengan orang fasik dan orang yang gemar berbuat jelek merupakan sebab penting akan berkurang dan lemahnya iman seseorang, bahkan bisa merusak dan membatalkan iman.

Dalam masalah ini, kita temukan di zaman kita perkara yang sangat parah dampaknya, yaitu banyak anak dan remaja duduk sambil menikmati saluran satelit dan situs website sesat di internet yang dikelola oleh musuh-musuh Islam. Melalui media ini, musuh-musuh Islam bisa masuk ke dalam rumah-rumah kaum muslimin dengan membawa berbagai fitnah dan racun pemikiran serta menebar berbagai kerusakan, kekejian, dan kejahatan yang ada pada mereka. Padahal hal ini dulu tidak mampu mereka lakukan untuk bisa mempengaruhi pikiran para pemuda dan anak-anak.

Sesungguhnya ini merupakan perkara yang benar-benar bisa merusak anak-anak kaum muslimin, ketika mereka sibuk duduk di depan media yang merusak dalam waktu yang lama. Mereka melihat dan mendengar langsung dengan mata dan telinganya sendiri, yang tentunya akan berpengaruh ke dalam hatinya. Jika hal ini berlangsung terus-menerus dan berkesinambungan, maka akan menyebabkan masuknya pikiran-pikiran yang merusak.

Oleh karena itu, wajib bagi setiap muslim untuk menjaga dirinya dan rumahnya dari berbagai kerusakan melalui media ini. Hal ini merupakan bahaya yang sangat mengancam. Yang mampu menjaga hanyalah Allah Ta’ala, kemudian disertai dengan usaha preventif dari orang tua untuk melindungi anak-anaknya dari bahaya media-media tersebut. Barangsiapa yang mendapat penjagaan dari Allah, maka niscaya dia akan diberi petunjuk di atas jalan yang lurus.

Semoga bemanfaat. Semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga kita dari berbagai perkara yang bisa merusak iman.

Penulis : Adika Mianoki/muslim.or.id

(*/Arrahmah.com)

]]>
423683
Makna Nama Allah bagi Muslim https://www.arrahmah.id/makna-nama-allah-bagi-muslim/ Fri, 19 Nov 2021 04:00:26 +0000 https://www.arrahmah.id/?p=417592

(Arrahmah.com) – Satu simbol pernyataan tauhidullah adalah Lâ ilâha illâ Allâh. Lâ ilâha illâ Allâh adalah kalimat agung yang diserukan semua para rasul. Rasa dan keyakinan ketauhidan itu ada dalam keimanan dan keikhlasan dalam beribadat. Tauhidullah itu juga merupakan misi yang diemban oleh semua para nabi dan rasul, sampai Rasulullah terakhir (Fath al- Majid, 126).

Ibn al-Qayyim menyampaikan pembuktian tauhid itu melalui tiga maqâmât: Pertama, al-hubb, yaitu rasa kecintaan yang mengharapkan taqarrub kepada Allah SWT QS Al-Baqarah: 165; wa al-ladzîna âmanû asyaddu hubban li Allah (orang-orang yang beriman itu adalah lebih cinta kepada Allah dengan ketulusannya).

Kedua, al-tawassul, yaitu bukti komunikasi dengan Allah melalui amal shalih. Ibn Mas’ud berkata bahwa yang menunjukkan adanya wasilah adalah al-Islam sebagai wujud ketaatan. Ketiga, al-rajâ yaitu rasa khawf (takut), sebagaimana QS Al-Isra: 57,

“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah). Mereka mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya. Sungguh, azab Tuhanmu itu sesuatu yang (harus) ditakuti.”

Ketiga maqâmât itu menunjukan adanya hakikat tauhid yang berarti hakikat agama Islam (Fath al- Majid, 120). Jika maqâmât ketiganya itu sudah ada pada diri seseorang, maka setiap simbol nama Allah berarti sudah masuk dalam posisi subtansialitasnya.

Dimensi subtansialitas nama Allah itu, jika merapat dengan diri seseorang, bahkan bukan hanya nama Dzat yang disebutkan, atau al-asmâ al-husna-Nya, atau melalui penemuan ayat-ayat Tuhan saja yang ada di alam raya ini, disertai ketulusan dan keimanan seseorang tersebut, akan sangat bermakna dan berarti dalam kehidupannya.

Jika nama dan ayat-ayat itu dibacakan karena kekagumannya, maka secara reflektif akan menuntut keteguhan pengabdian dan ketaatan hanya kepada-Nya, disertai pintu getaran di hatinya (wajilat qulûbuhum) akan terbuka oleh sebab keimanannya bertambah (QS Al-Anfal: 2).

Jika keagamaan itu masih berstandar pengakuan keinginan kelompoknya, sekalipun nama Allah disebutkan, maka pengakuannya itu masih berstandar formal. Sebagaimana teguran Nabi SAW pada saat kedatangan orang-orang Arab yang menyatakan “kami beriman”, tetapi Nabi SAW mengatakan “kamu sekalian belum beriman, baru Islam”.

Artinya, standar keagamaan mereka itu belum sampai esensinya atau belum diterima sanubarinya. Esensi keimanan, jika tertancap di bagian hati paling dalam sanubari seseorang, maka diri orang itu akan memiliki keakraban baik dengan sesamanya (QS Al-Hujurat: 14).

Oleh: H Ayat Dimyati, Dosen Tetap UIN Gunungdjati Bandung
Sumber: Majalah SM Edisi 4 Tahun 2017

(*/Arrahmah.com)

]]>
417592
Mendalami Nama Allah Al-Ahad dalam Surat Al-Ikhlas https://www.arrahmah.id/mendalami-nama-allah-al-ahad-dalam-surat-al-ikhlas/ Fri, 09 Jul 2021 04:32:12 +0000 https://www.arrahmah.id/?p=411206

(Arrahmah.com) – Nama Allah Al-Ahad ini tercantum dalam surah Al-Ikhlas ayat pertama, patut didalami lagi lebih jauh.

Syaikh ‘Abdurrazaq bin ‘Abdul Muhsin Al-‘Abbad Al-Badr menyatakan bahwa nama Allah “Al-Ahad” disebutkan hanya pada satu tempat dalam Al-Qur’an pada surah Al-Ikhlas. Sedangkan nama Allah “Al-Wahid” sering disebutkan berulang kali dalam Al-Qur’an. (Lihat Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hlm. 124)

Adapun perbedaan antara Al-Wahid dan Al-Ahad adalah Al-Wahid itu Esa dalam Dzat, yang lainnya tidak bisa menambahnya; sedangkan Al-Ahad adalah Esa dalam makna yang tidak ada yang berserikat dengan Allah di dalamnya. (Lihat An–Nahju Al-Asma’ fi Syarh Asma’ Allah Al-Husna, hlm. 370).

BEBERAPA CATATAN DARI NAMA ALLAH AL-AHAD DAN AL-WAHID
Pertama: Nama Allah itu Al-Ahad dan Al-Wahid, maksudnya untuk meniadakan Allah dari yang semisal, tandingan, dan yang setara dengan-Nya. Seperti disebutkan dalam ayat lainnya,

هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا

“Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Allah (yang patut disembah)?” (QS. Maryam: 65)

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖوَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (QS. Asy-Syura: 11)

Kedua: Menetapkan nama Allah Al-Ahad dan Al-Wahid bertujuan untuk membatalkan segala bentuk takyif yang ingin menggambarkan bagaimanakah Allah karena Allah itu Esa, tidak ada yang semisal dengan-Nya.

Ketiga: Nama ini juga berarti menetapkan semua sifat sempurna bagi Allah karena tidak ada yang lebih agung dan lebih indah dari-Nya.

Keempat: Dalam nama tersebut menunjukkan bahwa sifat-sifat Allah itu yang paling puncak dan paling sempurna.

Sebagaimana disebutkan dalam ayat,

وَأَنَّ إِلَىٰ رَبِّكَ الْمُنْتَهَىٰ

“Dan bahwasanya kepada Rabbmulah kesudahan (segala sesuatu).” (QS. An-Najm: 42)

وَلِلَّهِ الْمَثَلُ الْأَعْلَىٰ

“Dan Allah mempunyai sifat yang Mahatinggi.” (QS. An-Nahl: 60)

Kelima: Nama ini juga menafikan Allah Subhanahu wa Ta’ala dari sifat kekurangan dan aib, karena Allah Yang Ahad berarti Allah bersendirian dalam sifat-Nya yang sempurna, tidak semisal dengan apa pun. Makanya Allah menyatakan pula,

سُبْحَانَهُ ۖهُوَ اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ

“Maha Suci Allah. Dialah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan.” (QS. Az-Zumar: 4)

Keenam: Dari nama ini, wajib menetapkan keesaan Allah yang sempurna dalam dzat, sifat, perbuatan, serta keyakinan dalam hati.

Ketujuh: Dari nama ini, wajib mengesakan ibadah kepada Allah dan ikhlas kepada-Nya. Karena Allah itu esa dalam mencipta, memberi rezeki, memberi segala nikmat, menghalangi, sampai pada mematikan, maka hanya Allah semata yang patut diibadahi.

Kedelapan: Ini sebagai bantahan kepada orang musyrik dan seluruh ajaran menyimpang lainnya yang tidak memuliakan Allah dengan benar, yang malah menjadikan sekutu bagi Allah dalam berbuat syirik. Sifat mereka orang musyrik seperti disebutkan dalam ayat,

وَإِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَحْدَهُ اشْمَأَزَّتْ قُلُوبُ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ ۖوَإِذَا ذُكِرَ الَّذِينَ مِنْ دُونِهِ إِذَا هُمْ يَسْتَبْشِرُونَ

“Dan apabila hanya nama Allah saja disebut, kesallah hati orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat; dan apabila nama sembahan-sembahan selain Allah yang disebut, tiba-tiba mereka bergirang hati.” (QS. Az-Zumar: 45)

وَإِذَا ذَكَرْتَ رَبَّكَ فِي الْقُرْآنِ وَحْدَهُ وَلَّوْا عَلَىٰ أَدْبَارِهِمْ نُفُورًا

“Dan apabila kamu menyebut Rabbmu saja dalam Al-Quran, niscaya mereka berpaling ke belakang karena bencinya.” (QS. Al-Isra’: 46)

ذَٰلِكُمْ بِأَنَّهُ إِذَا دُعِيَ اللَّهُ وَحْدَهُ كَفَرْتُمْ ۖوَإِنْ يُشْرَكْ بِهِ تُؤْمِنُوا ۚفَالْحُكْمُ لِلَّهِ الْعَلِيِّ الْكَبِيرِ

“Yang demikian itu adalah karena kamu kafir apabila Allah saja disembah. Dan kamu percaya apabila Allah dipersekutukan. Maka putusan (sekarang ini) adalah pada Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Ghafir: 12). Lihat Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hlm. 126-128.

Referensi:
An–Nahju Al-Asma’ fi Syarh Asma’ Allah Al-Husna. Cetakan keenam, Tahun 1436 H. Dr. Muhammad Al-Hamud An-Najdi. Penerbit Maktabah Al-Imam Adz-Dzahabi.
Fiqh Al-Asma’ Al-Husna. Cetakan kedua, Tahun 1436 H. Syaikh ‘Abdurrazaq bin ‘Abdul Muhsin Al-‘Abbad Al-Badr. Penerbit Darul ‘Amiyah.
Sumber: rumaysho.com

(fath/arrahmah.com)

]]>
411206
Beriman Kepada Takdir Allah https://www.arrahmah.id/beriman-kepada-takdir-allah/ Thu, 01 Apr 2021 05:00:41 +0000 https://www.arrahmah.id/?p=407072

(Arrahmah.com) – Para ulama dalam al-Lajnah ad-Daimah li al-Buhuts wal Ifta’ ditanya, “Apa makna mengimani takdir?” Mereka menjawab: “Maknanya adalah mengimani bahwa Allah ‘Azza wa Jalla telah mengetahui segala sesuatu sebelum dia ada (terjadi), dan mencatatnya di sisi-Nya (dalam Lauhul Mahfuzh), kemudian apa saja yang ada (terjadi) semuanya atas kehendak-Nya, lalu dia menciptakan segala sesuatu berdasarkan kehendak-Nya tersebut. Inilah empat tingkatan iman terhadap takdir yang wajib diimani.

Seorang hamba tidak disebut beriman kepada takdir secara sempurna sampai dia mengimani empat hal di atas. Hal ini sebagaimana dalam riwayat yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya oleh Malaikat Jibril tentang iman. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

أَنْ تُؤمِنَ بِاللهِ وَ مَلَئِكَتِهِ وَ كُتُبِهِ وَ رُسُلِهِ وَ اليَوْمَ الْآخِرِ وَ تُؤمِنَ بِالقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ

“Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhir (Kiamat), serta beriman kepada takdir yang baik dan yang buruk.” (HR. Muslim, no. 8)

Telah shahih pula riwayat dari sahabat ‘Ubadah bin ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya:

إِنَّكَ لَنْ تَجِدَ طَعْمَ حَقِيقَةِ الإِيمَانِ حَتَّى تَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ وَمَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَكَ

“Sesungguhnya engkau tidak akan merasakan hakikat keimanan sampai engkau mengetahui bahwa apa yang (ditakdirkan) menimpamu tidak akan luput darimu dan apa yang (ditakdirkan) luput darimu tidak akan menimpamu.” (HR. Abu Dawud no. 4700)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah telah menjelaskan makna tersebut dalam tulisan beliau dalam kitab al-Aqidah al-Wasithiyah -kami menasehatkan Anda untuk mempelajari dan menghafalnya-. Allahlah pemberi taufik. Shalawat dan salam atas nabi kita Muhammad, keluarga, dan para sahabatnya. (Fatawa al-Lajnah ad-Da`imah li al-Buhuts al-’Ilmiyah wa al-Ifta, III/512, fatwa no. 4088)

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah juga berkata: “Di antara keutamaan Allah terhadap hamba-Nya adalah bahwa Dia tidaklah menakdirkan atas mereka suatu kebaikan maupun musibah, kecuali itu adalah kebaikan untuk mereka. Jika mereka diberikan suatu kebahagiaan maka merekapun bersabar sehingga Allah membalas mereka dengan balasan bagi orang-orang yang bersyukur. Dan jika mereka ditimpa suatu musibah maka merekapun bersabar hingga Allah membalas mereka dengan balasan bagi orang-orang yang bersabar.” (Tafsir Ibnu Sa’di hlm. 160)

Sungguh kebahagiaan dan keberkahan hidup akan dirasakan orang-orang beriman saat senang ataupun susah. Dengan syukur ketika diberikan nikmat dan bersabar, bahkan ridha tatkala mendapat musibah. Saat seorang mukmin selalu berprasangka baik kepada Allah Ta’ala, insya Allah imannya semakin kokoh, hatinya menjadi tenteram, serta hidupnya akan selalu bertawakal pada Allah. Dia juga akan berikhtiar untuk selalu istiqamah, serta menjalankan ketaatan dalam rangka meraih husnul khatimah.

Seorang mukmin akan selalu memohon kebaikan kepada Allah Ta’ala dengan mengucapkan doa ketika mendapatkan kesenangan.

الحَمْدُ لِله ِالَّذِيْ بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتِ

“Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya sempurnalah kebaikan-kebaikan.”

Dan jika mendapatkan sesuatu yang tidak disukainya, beliau berkata:

الحَمْدُ لِلهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ

“Segala puji bagi Allah atas segala keadaan.” (HR. Ibnu as-Sinni dalam ‘Amalul Yaum wa al-Lailah. Di-shahih-kan juga oleh al-Albani di dalam Shahih al-Jami’, no. 4640)

Kesimpulan madzhab salaf tentang takdir:

(1). Beriman kepada rububiyah Allah yang mutlak. Dia adalah Rabb, penguasa yang menciptakan segala sesuatu, yang mengajarinya, menakdirkannya, menginginkannya, serta menulisnya, Subhanallah.

(2). Sesungguhnya manusia juga mempunyai kehendak dan kemampuan untuk berusaha, yang dengan hal itu terwujud perbuatan-perbuatannya dan karenanya pula ia diberi pahala atau dosa.

(3). Sesungguhnya kemampuan dan kemauan hamba tersebut, tidak keluar dari kuasa Allah dan kehendak-Nya. Dialah yang menganugerahkan semua itu kepadanya, dan menjadikannya mampu memilah dan memilih. Perbuatan mana saja yang dipilih oleh manusia, baik atau buruknya, tidaklah keluar dari kehendak dan kuasa, serta penciptaan Allah.

(4). Sesungguhnya beriman kepada takdir, yang baik maupun yang buruk adalah berdasarkan penisbatannya kepada makhluk. Adapun, jika dinisbatkan kepada Al-Khaliq maka seluruh takdir adalah baik, dan keburukan tidak dinisbatkan kepada Allah. Ilmu Allah, kehendak, penulisan dan pencipta-Nya terhadap segala sesuatu semuanya adalah bentuk hikmah, keadilan, rahmat dan kebaikan. Keburukan tidak ada sedikitpun pada sifat-sifat atau perbuatan-perbuatan Allah. Tidak ada kekurangan atau keburukan pada Dzat Allah. Bagi-Nya adalah kesempurnaan dan keagungan mutlak. Maka tidak dinisbatkan keburukan itu kepada-Nya secara sendiri, sekalipun termasuk dalam makhluk-Nya, tetapi menciptakan dari segi ini saja tidaklah buruk. (Dikutip dari Kitab Tauhid 2, oleh Tim Ahli Tauhid, hlm.176)
Wallahu a’lam


Penulis: Isruwanti Ummu Nashifa

Referensi:
1. Majalah Fatawa edisi 06 th. II,1425H.
2. Majalah Fatawa edisi 04 th. II 1425H.
3. Kitab Tauhid 2, Tim Ahli Tauhid, Darul Haq, Jakarta, 2002.
4. Https://bit.ly/silsilahdurus.

Artikel Muslimah.or.id

(*/Arrahmah.com)

]]>
407072
Perbedaan antara Nama Allah “Ar-Rahman” dan “Ar-Rahiim” https://www.arrahmah.id/perbedaan-antara-nama-allah-ar-rahman-dan-ar-rahiim/ Wed, 17 Feb 2021 03:01:56 +0000 https://www.arrahmah.com/?p=404667

(Arrahmah.com) – “Ar-Rahman” dan “Ar-Rahiim” berasal dari kata yang sama, yaitu “rahmah”. Dalam terjemah bahasa Indonesia, “Ar-Rahman” seringkali diterjemahkan dengan “Maha Pengasih”, sedangkan “Ar-Rahiim” diterjemahkan dengan “Maha Penyayang.” Secara sekilas membaca terjemah tersebut, seolah-olah makna “Ar-Rahman” dan “Ar-Rahiim” adalah sama, yaitu menunjukkan sifat rahmah Allah Ta’ala.

Konsekuensi dari pemahaman ini adalah disebutkannya nama “Ar-Rahiim” itu untuk menguatkan makna “Ar-Rahman” yang telah disebutkan sebelumnya, sebagaimana dalam lafadz basmalah,

بِسْمِ اللَّه الرَّحْمَن الرَّحِيم

Maksudnya, nama “Ar-Rahiim” itu berfungsi untuk menguatkan nama Allah “Ar-Rahman” yang telah disebutkan terlebih dahulu, karena keduanya memiliki makna yang sama (menunjukkan sifat rahmah Allah Ta’ala) dan tidak ada perbedaan. Dalam bahasa Arab, penguatan makna ini disebut dengan ta’kiid. Inilah pendapat sebagian ulama, yaitu “Ar-Rahiim” berfungsi sebagai penguat untuk nama “Ar-Rahmaan”, karena keduanya memiliki makna yang sama.

Akan tetapi, dalam bahasa Arab terdapat sebuah kaidah,

تأسيس المعني مقدم علي التأكيد

“Memunculkan makna baru itu lebih didahulukan daripada menguatkan makna sebelumnya.”

Inilah yang lebih tepat, yaitu meskipun sama-sama berasal dari akar kata yang sama (yaitu rahmah), kedua nama Allah Ta’ala tersebut memiliki makna yang berbeda. Hal ini juga diperkuat dari sisi bahasa Arab, karena “Ar-Rahman” mengikuti pola (wazan) (فعلان) (fa’laan), sedangkan “Ar-Rahiim” mengikuti pola (فعيل) (fa’iil). Karena memiliki pola yang berbeda, maka maknanya pun juga menjadi berbeda.

Para ulama berbeda pendapat dalam memahami perbedaan makna “Ar-Rahman” dan “Ar-Rahiim”.

Pendapat pertama, “Ar-Rahman” menunjukkan rahmat Allah Ta’ala yang sangat luas, yang meliputi seluruh makhluk, termasuk hamba-Nya yang kafir. Hal ini sebagaimana kaidah dalam bahasa Arab, karena “Ar-Rahmaan” mengikuti pola (wazan) (فعلان) (fa’laan) yang berarti “penuh atau sangat banyak”. Contohnya adalah (غضبان) (ghadhbaan) yang menunjukkan orang yang sedang dipenuhi dengan rasa marah. Sehingga “Ar-Rahmaan” kurang lebih bermakna “Dzat yang dipenuhi rasa rahmah mencakup seluruh makhluk.”

Sedangkan “Ar-Rahiim” adalah rahmat yang khusus ditujukan untuk orang-orang yang beriman. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala,

هُوَ الَّذِي يُصَلِّي عَلَيْكُمْ وَمَلَائِكَتُهُ لِيُخْرِجَكُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًا

“Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia (Allah) Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Ahzab [33]: 43)

Di antara ulama kontemporer yang memilih pendapat ini adalah Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafidzahullahu Ta’ala. (Syarh Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah, hal. 5-6)

Inilah yang mungkin menjadi rahasia mengapa Allah Ta’ala memilih nama “Ar-Rahmaan” ketika menyebut sifat istiwa’ di atas ‘Arsy, dan tidak memilih “Ar-Rahiim”. Allah Ta’ala berfirman,

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

“(Rabb) Yang Maha Pemurah, Yang tinggi di atas ‘arsy.” (QS. Thaha [20]: 5)

Sisi kesesuaian pemilihan “Ar-Rahman” adalah bahwa ‘arsy merupakan makhluk Allah Ta’ala yang paling besar dan paling tinggi, dan menaungi seluruh makhluk yang lainnya.

Pendapat ke dua, “Ar-Rahman” menunjukkan sifat rahmat Allah Ta’ala sejak dahulu tanpa awal. Sedangkan “Ar-Rahiim” menunjukkan perbuatan (fi’il) Allah Ta’ala yang merahmati hamba-hamba-Nya yang berhak untuk mendapatkan rahmat-Nya. Sebagaimana dalam ayat di atas,

وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًا

“Dan adalah Dia (Allah) Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Ahzab [33]: 43)

Pendapat ke dua ini dipilih oleh Ibnul Qayyim rahimahullahu Ta’ala. Dan di antara ulama kontemporer yang menguatkan pendapat ke dua ini adalah Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala. (Syarh Al-Mandzumah Al-Baiquniyyah, hal. 15)

Pendapat yang lebih kuat: Di antara dua pendapat tersebut, pendapat yang -insyaa Allah- lebih tepat adalah pendapat ke dua. Hal ini berdasarkan dalil firman Allah Ta’ala,

إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ

“Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada seluruh manusia.” (QS. Al-Baqarah [2]: 143)

Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala menyebut sifat “rahiim” dan dikaitkan dengan semua manusia (بِالنَّاسِ). Sesuai dengan kaidah bahasa Arab, “manusia” di sini bersifat umum, mencakup muslim ataupun kafir, baik hamba-Nya yang shalih ataupun yang suka bermaksiat. Sehingga mengatakan bahwa “Ar-Rahiim” adalah rahmat yang khusus kepada hamba-Nya yang beriman itu tidaklah tepat berdasarkan ayat di atas. Sehingga yang lebih tepat adalah pendapat yang ke dua. Wallahu Ta’ala a’lam.

“Ar-Rahmaan” itu khusus milik Allah Ta’ala, berbeda dengan “Ar-Rahiim”
Perbedaan antara “Ar-Rahman” dan “Ar-Rahiim” lainnya adalah bahwa “Ar-Rahmaan” itu khusus untuk Allah Ta’ala. Sedangkan Allah Ta’ala terkadang mensifati sebagian hamba-Nya dengan sifat “rahiim”. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At-Taubah [9]: 128)

Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala mensifati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sifat rahmat, dengan memilih kata “rahiim” dan bukan “rahmaan”. Dan di dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala tidak pernah mensifati hamba-Nya dengan “rahmaan”. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa “rahmaan” adalah khusus untuk Allah, berbeda dengan “rahiim”.

Yang perlu diperhatikan adalah meskipun sebagian hamba memiliki sifat “rahiim”, sifat tersebut berbeda dengan sifat “rahiim” yang dimiliki oleh Allah Ta’ala. Karena sifat “rahiim” Allah adalah sesuai dengan keagungan, kebesaran dan kemuliaan Allah Ta’ala, dan sifat “rahiim” yang dimiliki hamba itu sesuai dengan yang layak untuk makhluk. Dan sifat Allah Ta’ala tidaklah sama atau serupa dengan sifat makhluk, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan Melihat.” (QS. Asy-Syura [42]: 11)

______
Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.Or.Id

(*/Arrahmah.com)

]]>
404667
Jibril ‘Alaihissalaam, Pemimpin Para Malaikat (2) https://www.arrahmah.id/jibril-alaihissalaam-pemimpin-para-malaikat-2/ Sat, 01 Jun 2019 04:30:32 +0000 https://www.arrahmah.com/?p=376298

(Arrahmah.com) – Telah disebutkan sebelumnya, 15 abad yang lalu Jibril dengan wujud aslinya pernah turun di langit Mekah, antara langit pertama dan muka dunia. Di dalam Al-Quran dan hadits dijelaskan pula bahwa Jibril beberapa kali turun ke bumi untuk berjumpa dengan kekasih-kekasih Rabb-nya atau menghukum para pendosa yang durhaka.

Penyampai Wahyu dan Pendidik Umat

Pada masa kerasulan Muhammad ﷺ, Jibril pernah menapaki tanah Madinah menemui kekasih Rabb-nya, Muhammad ﷺ. Ia datang sebagai pengantar kalam Ilahi atau sebagai pendidik para sahabat Nabi.

Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari ibunda Aisyah radhiallahu ‘anha menjelaskan bagaimana wahyu datang kepada Nabi ﷺ. Aisyah berkata, al-Harits bin Hisyam pernah bertanya kepada Rasulullah ﷺ

يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ يَأْتِيكَ الْوَحْيُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْيَانًا يَأْتِينِي مِثْلَ صَلْصَلَةِ الْجَرَسِ وَهُوَ أَشَدُّهُ عَلَيَّ فَيُفْصَمُ عَنِّي وَقَدْ وَعَيْتُ عَنْهُ مَا قَالَ وَأَحْيَانًا يَتَمَثَّلُ لِي الْمَلَكُ رَجُلًا فَيُكَلِّمُنِي فَأَعِي مَا يَقُولُ

“Wahai Rasulullah, bagaimanakah cara wahyu sampai kepadamu?” Beliau ﷺ menjawab,”Terkadang wahyu itu datang kepadaku seperti suara lonceng, dan inilah yang terberat bagiku, dan aku memperhatikan apa dia katakan. Dan terkadang seorang malaikat mendatangi dengan berwujud seorang lelaki, lalu dia menyampaikan wahyu kepadaku, aku pun memperhatikan apa yang dia ucapkan.”

Beberapa kali Jibril datang kepada Nabi dengan sifat-sifat kemalaikatannya. Keadaan inilah yang terberat bagi Nabi. Dan terkadang ia datang dengan fisik laki-laki.

Umar pernah bercerita bahwa ada seorang laki-laki yang mengenakan pakaian putih bersih dan rambut yang sangat hitam datang menemui Nabi ﷺ. Tidak ada seorang sahabat pun yang mengenal laki-laki itu, tetapi ia kelihatan begitu dekat dengan Nabi. Ia bertanya tentang Islam, iman, dan ihsan. Di akhir pertemuan Nabi bertanya kepada Umar, “Wahai Umar, tahukah engkau siapakah dia?” “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Jawab Umar. “Sesungguhnya dia Jibril. Dia datang untuk mengajarkan agama kepada kalian”. Sambung Rasulullah ﷺ (HR. Muslim).

Ada salah seorang sahabat Nabi ﷺ yang Jibril suka menyerupainya saat menjadi manusia. Namanya Dihyah bin Khalifah al-Kalbi. Dari Anas, Nabi ﷺ bersabda, “Jibril datang serupa dengan fisik Dihyah. Dan Dihyah adalah seorang laki-laki yang tampan”. (Siyar A’lamin Nubala, Hal: 554).

Panglima Perang Para Malaikat

Saat situasi genting di Perang Badr. Umat Islam yang berjumlah tiga ratus beberapa belas orang dengan tanpa persenjataan lengkap disongsong oleh 950 pasukan musyrik Mekah dengan perlengkapan perangnya. Jibril datang atas perintah Rabbnya dengan membawa ribuan pasukan malaikat dari langit ke-3.

Rasulullah ﷺ mengabarkan kepada Abu Bakar, “Bergembiralah wahai Abu Bakar. Pertolongan Allah datang. Ini Jibril di giginya ada debu-debu (dari medan perang)”. (Fiqhu ash-Shirah, Hal: 408).

Dalam hadits yang lain, beliau bersabda,

هَذَا جِبْرِيْلُ آخِذٌ بِرَأْسِ فَرَسِهِ عَلَيْهِ أَدَاةُ الْحَرْبِ

“Ini adalah Jibril sedang memegang kepala kudanya, dan ia membawa peralatan perang.” (HR. al-Bukhari, no. 3995).

Bagaimana kiranya, jika Jibril yang perkasa turut membantu dalam peperangan? Pasukan mana yang akan menderita kekalahan ketika Allah telah memberikan pertolongan sedemikian? Saat kemenangan diraih, ribuan malaikat itu tidak serta merta menghabisi semua musuh yang ada di medan laga. Inilah hikmah agama kita yang mulia, 950 orang musyrik itu tidak dibinasakan seketika. Perang dalam Islam bukan berarti membunuh dan membantai. Jika Allah menghendaki, tentu saja ribuan malaikat dari langit ketiga itu mampu menghabisi mereka semua. Namun di akhir peperangan hanya 70 orang musyrik yang tewas dan 70 lainnya ditawan.

Keperkasaan Jibril, Adzab Atas Kaum Sodom

Ratusan atau mungkin ribuan abad yang lalu, saat bumi usianya tak setua saat ini. Jibril bersama Mikail dan Israfil pernah datang kepada kekasih Allah, Rasulullah Ibrahim ﷺ. Ketiganya datang memberikan kabar gembira kepada Ibrahim dan Sarah akan kehadiran buah hati mereka Ishaq. Kemudian ketiganya bertolak menuju kaum Rasulullah Luth. Di sinilah tajuk Jibril yang perkasa akan kita pahami secara sempurna.

Allah ﷻ menciptakan banyak makhluk yang lebih kuat dari manusia. Bangsa jin salah satu di antaranya. Di masa Nabi Sulaiman salah satu jin pernah menyanggupi permintaan Nabi Sulaiman mengangkat singgasana Ratu Bilqis sebelum Sulaiman berdiri dari duduknya.

قَالَ يَا أَيُّهَا الْمَلَأُ أَيُّكُمْ يَأْتِينِي بِعَرْشِهَا قَبْلَ أَنْ يَأْتُونِي مُسْلِمِينَ

Berkata Sulaiman: “Hai pembesar-pembesar, siapakah di antara kamu sekalian yang sanggup membawa singgasananya kepadaku sebelum mereka datang kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri”. (QS. An-Naml: 38).

قَالَ عِفْرِيتٌ مِنَ الْجِنِّ أَنَا آتِيكَ بِهِ قَبْلَ أَنْ تَقُومَ مِنْ مَقَامِكَ ۖ وَإِنِّي عَلَيْهِ لَقَوِيٌّ أَمِينٌ

Berkata Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin: “Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgsana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya”. (QS. An-Naml: 39).

Kemudian malaikat membawanya kepada Sulaiman dengan kecepatan dan kekuatan yang lebih mencengangkan lagi, yakni lebih cepat kedipan mata singgasana Ratu Bilqis bisa hadir di hadapan Nabi Sulaiman.

قَالَ الَّذِي عِنْدَهُ عِلْمٌ مِنَ الْكِتَابِ أَنَا آتِيكَ بِهِ قَبْلَ أَنْ يَرْتَدَّ إِلَيْكَ طَرْفُكَ

Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari al-Kitab: “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip”. (QS. An-Naml: 40).

Para ulama menafsirkan ayat ini bahwa orang shaleh itu memohon kepada Allah. Kemudian Allah perintahkan malaikat membawa singgasana Bilqis dari Yaman menuju Syam (Palestina) yang berjarak 3000 Km hanya dalam kejapan mata.

Kekuatan manusia pun masih kalah dibanding hewan-hewan ciptaan Allah; Eastern Lowland Gorila mampu mengangkat beban seberat 2000 Kg, bahkan semut pemotong daun atau yang kita kenal dengan semut rang-rang saja mampu mengangkat benda 50 puluh kali berat badannya.

Lalu bagaimana dengan Jibril? Makhluk ciptaan Allah yang perkasa dan dianugerahi pula kecerdasan.

عَلَّمَهُ شَدِيدُ الْقُوَىٰ﴿٥﴾ذُو مِرَّةٍ فَاسْتَوَىٰ

“Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat. Yang mempunyai akal yang cerdas; dan (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli.” (QS. an-Najm: 5-6).

Jibril pernah mencongkel bumi seluas lima desa kemudian mengangkatnya ke langit, dan membalikkannya hanya dengan satu sayap kanannya. Ya, Jibril mengangkat kampung kaum Nabi Luth untuk mengadzab mereka.

Kaum Luth adalah kaum pendosa. Mereka telah menyekutukan Allah, mendustakan Nabi Luth ﷺ, berbuat kotor dengan homoseksual yang belum pernah dilakukan oleh orang sebelum mereka, dan menantang datangnya adzab.

Kisah adzab mereka bermula dengan kedatangan Jibril, Mikail, dan Israfil dengan sosok laki-laki tampan dan gagah menemui Nabi Luth. Tiga orang tamu yang rupawan ini membuat Luth merasa cemas, khawatir kalau kaumnya akan mengganggu mereka.

“Dan tatkala datang utusan-utusan Kami (para malaikat) itu kepada Luth, dia merasa susah dan merasa sempit dadanya karena kedatangan mereka, dan dia berkata: ‘Ini adalah hari yang amat sulit’.” (QS.Huud: 77).

Karena khianat istri Nabi Luth, kehadiran para tamu pun bocor ke telinga kaum gay ini. Bertambahlah kegelisahan Luth. Beliau yanga sangat memuliakan tamu dan tidak ingin tamunya terganggu dan tersakiti.

Luth berkata: “Seandainya aku mempunyai kekuatan (untuk menolakmu) atau kalau aku dapat berlindung kepada keluarga yang kuat (tentu aku lakukan)”. (QS.Huud: 80).

Akhirnya para utusan itu berkata:

Para utusan (malaikat) berkata: “Hai Luth, sesungguhnya kami adalah utusan-utusan Tuhanmu, sekali-kali mereka tidak akan dapat mengganggu kamu, sebab itu pergilah dengan membawa keluarga dan pengikut-pengikut kamu di akhir malam dan janganlah ada seorangpun di antara kamu yang tertinggal, kecuali isterimu. Sesungguhnya dia akan ditimpa azab yang menimpa mereka karena sesungguhnya saat jatuhnya azab kepada mereka ialah di waktu subuh; bukankah subuh itu sudah dekat?”. (QS. Huud: 81).

Dari sini kita mengetahui, para wali Allah dari kalangan Rasul pun tidak mengetahui perkara gaib.

Syahwat syaithoniyah kaum Luth makin membuncah liar tak terbendung. Malam itu, mereka mencoba mendobrak pintu rumah Nabi Luth. Lalu Jibril memukul wajah-wajah mereka dengan ujung sayapnya hingga mereka menjadi buta. Dengan terhuyung-huyung mereka kembali ke rumah. Lalu Jibril memerintahkan Luth agar keluar bersama orang-orang beriman lainnya. Dan datanglah adzab yang pedih kepada kaum Luth.

Di pagi hari, Jibril congkel bumi kampung kaum Luth dengan satu sayapnya. Kemudian ia angkat ke langit pertama dengan segala isinya. Hingga penduduk langit mendengar jeritan manusia-manusianya, lengkingan suara anjingnya, dan kokok ayam yang ada di dalamnya. Setelah itu ia balik bongkahan besar itu, bagian bawah diputar menjadi sisi atas. Lalu dilemparkan kembali ke bumi. Diikuti hujan batu dari sijjil.

Qatadah mengatakan, “Sampai kepada kami bahwa Jibril mengangkat bagian tengah desa. Kemudian ia lemparkan ke langit. Hingga penduduk langit mendengar gonggong dan salak anjing mereka. Bagian-bagiannya pun saling menghancurkan.” (Tafsir al-Quran al-Azhim, tafsir Surat Hud: 82-83).

Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi mengatakan, “Kampung kaum Luth itu ada 5 kampung; Sodom (Arab: سدوم) –inilah kampung terbesar-, Sha’bah (Arab: صعبة), Sha’wa (Arab: صعوة), Atsra (Arab: عثرة), dan Duma (Arab: دوما) (Tafsir al-Quran al-Azhim, tafsir Surat Hud: 82-83).

Allah al-Aziz Yang Maha Perkasa. Bayangkan!! Daratan sebesar lima desa, dicongkel dan diangkat begitu saja menuju langit yang tingginya hanya ditakar dengan mata. Mata yang lemah, yang tidak tahu berapa jarak pastinya. Pohon-pohon, istana dan bangunan kokoh, manusia dan hewan, serta segala macam isinya melayang ke ufuk dengan satu sayap makhluk yang perkasa. Jika demikian apalah artinya kita?

Kita kadang marah kepada Allah Sang Pencipta tatkala ia menurunkan hujan atau mamaparkan teriknya matahari ke bumi. Seolah-olah kita mampu melawan-Nya. Kita kadang membusungkan dada, mengkritik hukum-hukum-Nya karena kita anggap kejam dan tak adil. Kita tidak kenal limit logika kita. Sebagian dari kita juga sering menyorotkan mata ke langit, protes atas ketetapan takdir-Nya. Padahal Dialah al-Alim (Yang Maha Mengetahui) dan al-Hakim (Yang Maha Bijaksana). Dibandingkan Jibril saja, apalah artinya kita?

Mudah-mudahan dengan mentadabburi makhluk Allah, Jibril ‘alaihissalam, membuat kita semakin takut dan taat kepada Allah. Kita hayati kebesaran-Nya dalam takbir shalat kita, karena Dialah al-Akbar. Kita agungkan Dia dalam rukuk-ruku kita, karena Dialah Rabb al-Azhim. Kita tinggikan Dia dalam sujud-sujud kita, karena Dialah Rabb al-A’la. Innahu ‘ala kulli syai-in qodir… (Dia kuasa atas segala sesuatu)…

Sumber: KisahMuslim.com

(fath/arrahmah.com)

]]>
376298
Jibril ‘Alaihissalaam, Pemimpin Para Malaikat (1) https://www.arrahmah.id/jibril-alaihissalaam-pemimpin-para-malaikat-1/ Fri, 31 May 2019 06:00:32 +0000 https://www.arrahmah.com/?p=376243

(Arrahmah.com) – Sering kita memandangi langit yang indah dengan semburat sinar matahari di pagi hari. Ia bagaikan kanvas biru yang terhampar luas dengan guratan cat putih lapisan awan. Kita juga suka menikmati malam purnama dengan pendaran sinar rembulan yang menerangi ufuk. Cahayanya menancapkan ketenangan tidak menyilaukan, tidak pula memudarkan keindahan.

Selain keindahan dan kekokohan langit yang luas tanpa retak itu, pernahkah kita merenungkan bahwa tempat yang berjarak 500 tahun perjalanan dari muka bumi itu adalah sebuah negeri dimana makhluk-makhluk mulia tinggal. Ya, di sanalah tempatnya para malaikat.

Allah ﷻ menciptakan malaikat dari cahaya. Cahaya apa? Tidak dijelaskan rincian tentang hal ini dan kita tidak dibebani syariat untuk mencari tahu tentang hal itu. Ibunda Aisyah menyampaikan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Malaikat diciptakan dari cahaya, jin diciptakan dari api, dan Adam diciptakan dari apa yang telah disifatkan kepada kalian (tanah).” (HR. Muslim no. 2996)

Dan jumlah mereka sangatlah banyak. Rasulullah ﷺ bersabda,

مَا فِيهَا مَوْضِعُ أَرْبَعِ أَصَابِعَ إِلَّا وَمَلَكٌ وَاضِعٌ جَبْهَتَهُ سَاجِدًا لِلَّهِ

“Tidak ada satu ruang selebar 4 jari, kecuali di sana ada malaikat yang sedang meletakkan dahinya, bersujud kepada Allah.” (HR. Ahmad No. 21516).

Di antara hal yang disaksikan Rasululullah ﷺ saat isra mi’raj adalah

فَرُفِعَ لِي البَيْتُ المَعْمُورُ، فَسَأَلْتُ جِبْرِيلَ، فَقَالَ: هَذَا البَيْتُ المَعْمُورُ يُصَلِّي فِيهِ كُلَّ يَوْمٍ سَبْعُونَ أَلْفَ مَلَكٍ، إِذَا خَرَجُوا لَمْ يَعُودُوا إِلَيْهِ آخِرَ مَا عَلَيْهِمْ

“Kemudian ditunjukkan kepadaku baitul ma’mur. Aku pun bertanya kepada Jibril, beliau menjawab, ‘Ini Baitul Ma’mur, setiap hari ada 70.000 malaikat yang shalat di dalamnya. Setelah mereka keluar, mereka tidak akan kembali lagi, dan itu menjadi kesempatan terakhir baginya.‘ (HR. Bukhari 3207 dan Muslim 164).

Artinya jumlah malaikat itu sangatlah banyak. Lebih banyak dari jumlah manusia. Dan sejumlah besar malaikat itu dipimpin oleh Malaikat Jibril ‘alaihissalam.

Keistimewaan Para Malaikat

Sebelum bertutur tentang Jibril, sejenak kita simak beberapa malaikat yang dipimpin oleh Jibril. Kita rangsang nalar kita dengan mengenal keagungan penciptaan mereka sebelum kita berbicara tentang yang paling istimewa di antara mereka. Karena terkadang nalar kita yang lemah ini tidak bisa langsung meloncat membayangkan dan mentadabburi sesuatu yang paling istimewa sebelum dikenalkan dengan hal-hal yang istimewa di bawahnya.

Al-Quran dan sunnah menyebutkan beberapa malaikat yang hendaknya dikenal oleh kaum muslimin. Jibril, Mikail, Israfil, Malaikat Maut, Munkar dan Nakir, Raqib dan Atid, Ridwan dan Malik. Merekalah malaikat-malaikat yang tidak lalai dari apa yang Allah perintahkan, tidak pula mereka memaksiati Tuhannya.

Para malaikat adalah makhluk yang terbuat dari cahaya yang Allah ciptakan dengan sayap-sayap. Allah ﷻ berfirman,

الْحَمْدُ لِلَّهِ فَاطِرِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ جَاعِلِ الْمَلَائِكَةِ رُسُلًا أُولِي أَجْنِحَةٍ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۚ يَزِيدُ فِي الْخَلْقِ مَا يَشَاءُ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Fathir: 1).

Di antara malaikat yang dipimpin oleh Jibril adalah malaikat pemikul arasy. Pemikul ciptaan Allah ﷻ yang terbesar. Rasulullah ﷺ bersabda:

أُذِنَ لِىْ أَنْ أُحَدِّثَ عَنْ مَلَكٍ مِنْ مَلاَئِكَةِ اللهِ مِنْ حمَلَةِ الْعَرْشِ مَا بَيْنَ شَحْمَةِ أُذُنِهِ إلَى عَاتِقِهِ مَسِيْرَةُ سَبْعِمِائَةِ سَنَةٍ.

“Aku diizinkan untuk menceritakan tentang salah satu malaikat Allah pemikul arasy, yaitu antara daging telinga (tempat anting. pen) dengan pundaknya sejauh tujuh ratus tahun perjalanan.” (HR. Abu Dawud no 4727).

Salah satu dari pemikul arasy itu adalah Israfil sang peniup Sangkakala. Tahukah Anda besarnya Sangkakala itu? Diameternya adalah antara langit dan bumi. Sedangkan jarak langit dan bumi adalah 500 tahun perjalan dengan kuda yang tercepat.

Dari al-Abbas bin Abdul Muthallib, Rasulullah ﷺ bersabda,

هَلْ تَدْرُوْنَ كَمْ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ؟ قُلْنَا: اَللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: بَيْنَهُمَا مَسِيْرَةٍ خَمْسَمِائَة سَنَة…

“Apakah kalian tahu berapa jarak antara langit dan bumi?” Kami (para sahabat) menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lah yang lebih mengetahui.” Beliau bersabda, “Jarak langit dan bumi adalah perjalanan 500 tahun…” (HR. Abu Dawud dan selainnya).

Allahu Akbar! Bayangkan! Betapa agungnya penciptaan malaikat pemikul arasy. Itulah salah satu malaikat yang begitu besar dan Jibril adalah pemimpinnya.

Malaikat lainnya adalah Malaikat Malik, penjaga neraka. Pernahkah Anda mendengar hadits tentang sifat fisik penduduk neraka? Penduduk neraka adalah orang-orang yang Allah besarkan fisik mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا بَيْنَ مَنْكِبِي الكَافِرِ فِي النَّارِ مَسِيْرَةٌ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ لِلرَّاكِبِ المُسْرِعُ

“Jarak antara dua ujung pundak orang kafir di dalam neraka sejauh perjalanan 3 hari yang ditempuh penunggang kuda yang larinya cepat.” (HR. Bukhari 6551 dan Muslim 2852).

Allah besarkan jisim mereka agar adzab yang mereka derita lebih maksimal dan lebih terasa di setiap lekuk dan jengkal tubuhnya. Kalau penduduk neraka sebesar itu, lalu bagaimana dengan Malaikat Malik, penjaga neraka. Malaikat yang ditakuti oleh para kriminal dan pendosa penghuni Jahannam itu. Suatu ketika, kelak penduduk neraka meminta kepada Malik agar menyampaikan kepada Allah supaya mereka dimatikan saja. Karena tidak tahan dengan pedihnya derita adzab.

وَنَادَوْا يَا مَالِكُ لِيَقْضِ عَلَيْنَا رَبُّكَ قَالَ إِنَّكُم مَّاكِثُونَ

“Mereka berseru: “Hai Malik biarlah Rabbmu membunuh kami saja”. Dia menjawab: “Kamu akan tetap tinggal (hidup di neraka ini selama-lamanya)”. (QS. Az-Zukhruf: 77).

Lalu bagaimana pula hebatnya Malaikat Maut yang bertugas mencabut nyawa? Malaikat yang tunggal ini mampu mencabut nyawa manusia di segala penjuru dunia, di ujung timur dan barat, dalam waktu serentak. Dalam detik yang sama. Dan dia sama sekali tidak pernah lalai dalam melakukannya. Ia tidak pernah terlambat mengeksekusi manusia. Tidak juga terlalu cepat. Semua ia lakukan dengan presisi dan akurasi waktu yang luar biasa tepatnya.

Ya ilahi.. ya Rabbi.. rasa-rasanya imajinasi kami terlalu uzur untuk membayangkan agungnya penciptaan para malaikat-Mu. Pemuja akal dan logika pun begitu lemah berhadapan dengan nash-nash ini. Sehingga menolaknya mereka jadikan solusi untuk menutupi kelemahan itu.

Sifat Fisik Jibril

Berbicara tentang Jibril tentu akan semakin membuktikan ketidak-berdayaan logika manusia. Allah ﷻ mengabarkan bahwa para malaikat ada yang memiliki dua sayap, tiga, empat, atau lebih. Sedangkan akal manusia hanya mampu menggambarkan mereka dengan dua sayap saja, di kiri dan di kanan. Bagaimana kalau tiga sayap? Bagaimana kalau empat? Apatah lagi 600 sayap seperti Jibril. Rasulullah ﷺ bersabda,

Dari Ibnu Mas’ud radhialahu ‘anhu,

رَأَى مُحَمَّدٌ ﷺ جِبْرِيْلَ لَهُ سِتُّمِائَةِ جَنَاحٍ قَدْ سَدَّ الأُفُق

“Muhammad ﷺ melihat Jibril (dalam wujud aslinya pen.). Ia memiliki 600 sayap yang menutupi langit.” (HR. An-Nasa-i).

Ibunda Aisyah radhiallahu ‘anha pernah bertanya kepada kekasihnya, Rasulullah ﷺ tentang dua ayat di dalam Alquran. Yakni ayat dalam surat:

وَلَقَدْ رَآهُ بِالْأُفُقِ الْمُبِينِ

“Dan sesungguhnya Muhammad itu melihat Jibril di ufuk yang terang.” (QS. At-Takwir: 23).

Dan surat:

وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَىٰ عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهَىٰ عِنْدَهَا جَنَّةُ الْمَأْوَىٰ

“Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal.” (QS. An-Najm: 13-15).

Rasulullah ﷺ menjawab, “Itulah Jibril yang tidak pernah kulihat ia dalam wujud aslinya. Kecuali pada dua kesempatan itu saja. Aku melihatnya turun dari langit, dimana tubuhnya yang besar memenuhi ruang antara langit dan bumi.” (HR. Muslim, No. 177).

“Rasulullah ﷺ melihat Jibril dengan bentuk aslinya. Dia memiliki enam ratus sayap. Setiap satu sayapnya dapat menutupi ufuk. Dari sayapnya berjatuhan mutiara dan yaqut dengan beragam warna.” (HR. Ahmad No. 460).

Penghulu Malaikat dan Penyampai Wahyu

Maha suci Allah yang telah menjadikan pertemuan antara malaikat terbaik dan manusia terbaik sebagai pembawa syariat-Nya. Adakah kepalsuan yang datang dari Dia yang Maha Benar, kemudian disampaikan kepada malaikatnya yang al-amin untuk diwahyukan kepada al-amin dari anak Adam?

Allah Ta’ala mensifati Malaikat Jibril dengan firman-Nya,

إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ﴿١٩﴾ذِي قُوَّةٍ عِنْدَ ذِي الْعَرْشِ مَكِينٍ﴿٢٠﴾مُطَاعٍ ثَمَّ أَمِينٍ

“Sesungguhnya Al-Quran itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril), yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah yang mempunyai ‘Arsy, yang ditaati disana (di alam malaikat) lagi dipercaya.” (QS. at-Takwir: 19-21).

Juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

عَلَّمَهُ شَدِيدُ الْقُوَىٰ﴿٥﴾ذُو مِرَّةٍ فَاسْتَوَىٰ

“Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat. Yang mempunyai akal yang cerdas; dan (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli.” (QS. an-Najm: 5-6).

Itulah kemuliaan Al-Quran. Malaikat yang paling mulia adalah yang paling layak mengemban amanah wahyu-Nya dan manusia yang paling mulia adalah yang paling layak menerimanya.

Di dalam Shahih Bukhari juga disebutkan, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda: “Jika Allah mencintai seorang hamba, maka Dia memanggil Jibril dan berfirman bahwasannya Allah mencintai fulan maka cintailah fulan, dan Jibrilpun mencintainya. Kemudia Jibril pun mengumumkan kepada penghuni langit, bahwasannya Allah mencintai fulan, maka cintailah ia, dan para penghuni langit pun mencintai fulan. Kemudian dikabulkanlah permohonannya di dunia.” (HR. Bukhari).

Ketika Jibril menyeru kepada para malaikat untuk mencintai seorang hamba, maka seluruh malaikat penghuni langit akan tunduk kepadanya. Karena dialah Jibril sang pemimpin Israfil yang perkasa dan pemimpin Malik Khazin neraka. Dialah Jibril pemimpin malaikat maut yang taat. Dia pula pemimpin Mikail, Ridwan, Raqib, Atid dan selainnya.

Sumber: KisahMuslim.com

(fath/arrahmah.com)

]]>
376243
Ulil Abshor Abdalla, bertaubatlah Anda! Sebelum dilaknat https://www.arrahmah.id/ulil-abshor-abdalla-bertaubatlah-anda-sebelum-dilaknat/ Fri, 19 Dec 2014 02:19:10 +0000 http://www.arrahmah.com/?p=276318

Oleh Ustadz Abu Husein At-Thuwailibi

(Arrahmah.com) – Saudaraku, diantara penyebab diusirnya iblis dari surga adalah kesombongan. Sombong untuk menerima kebenaran wahyu Ilahi dan lebih mengedepankan akal nya yang rusak, sehingga ia pun menggunakan akal untuk menundukkan Wahyu Ilahi. Di perintah Sujud kepada adam,dia enggan, karena ia melebihkan akal dan kesombongannya,sampai ia pun di usir oleh Allah dari Surga dan di laknat sampai hari kiamat, demikianlah kondisi ibis. Wal-‘Iyaadzu Billah.

Dedengkot Jaringan Iblis Liberal (JIL) Ulil Abshar Abdalla menyombongkan diri dengan mencela seorang Da’i muda Ustadz Felix Siau dengan begitu ujub dan angkuhnya.

Di time line akun Twitter miliknya, @ulil, tampak foto Ustadz Felix Siauw dengan tulisan besar-besar: “baru mu’allaf ngerasa paling bener dari ulama-ulama besar muslim indonesia.” Foto tersebut diretweet Ulil dari akun @abangifoel.

Selain tulisan pada foto, disertakan pula kicauan (di akun twittwernya) berbunyi “modal baru dua ayat, sudah berani dipanggil ustadz”.

Agaknya, sindiran itu terkait dengan pernyataan Ustadz Felix Siauw baru-baru ini yang mengingatkan umat Islam untuk tidak mengucapkan selamat natal. “Kalau mengucap selamat ke hari raya agama lain itu boleh tentu Rasulullah dan sahabat sudah mencontohkan lebih dulu,” kata Ustadz Felix Siauw menuturkan alasannya melalui akun Twitter @felixsiauw.

Sedangkan Ulil Anshor Abdalla berpendapat boleh-boleh saja mengucapkan selamat natal, tidak ada larangan dari Qur’an dan Hadits. Bahkan, ia juga sempat ‘menantang’ Ustadz Yusuf Mansur mencari dalil larangan mengucap selamat natal.

Demikianlah sikap seorang penerus generasi iblis di permukaan bumi, angkuh dan sombong, sehingga Allah pun membiarkannya sesat kemana dia tersesat, Wal-‘Iyaadzu billah. Semoga Allah memberi anda hidayah agar segera bertaubat ke jalan yang benar sebelum dilaknat. Aamiin.

Ustadz Felix Siauw -dengan segala kekurangannya,dengan segala baik buruknya- adalah seorang Mu’allaf yang mulia, seorang Muslim sejati In Syaa’ Allah. Seorang Kafir yang masuk Islam, bukan seperti Ulil yang Muslim menjadi kafir alias Murtad. Oleh karena itu, -dengan segala kekurangannya- maka Ustadz Felix Siauw lebih baik dan mulia di mata Allah Rabbul ‘Alamin ketimbang sosok penerus faham Abu Jahal sejenis Ulil Abshor Abdalla. Bagaimana bisa anda menjadi seorang Muslim hakiki atau cendikiawan sejati kalau tatkala para lelaki muslim shalat kum’at di hari jum’at anda malah berleha-leha ngobrol dengan orang kristen dan tidak ke masjid untuk shalat jum’at. Orang yang tidak shalat Jum’at -tanpa uzur syar’i- hanya tiga golongan manusia: orang kafir, sakit jiwa alias gila, atau banci.

Ulil, coba buka pola fikir anda yang sangat tidak intelektual itu dan cermati baik-baik kalau memang anda mengaku muslim dan mengaku “ngikut ulama-ulama besar”,

Coba cermati dengan akal anda yang istimewa itu, di dalam Kitab Thabaqatul hanabilah 1/12 dijelaskan tentang sikap ulama besar terhadap orang kristen.

كان الامام أحمد بن حنبل- رحمه الله – إمام أهل السنة إذا نظر إلى نصراني أغمض عينيه، فقيل له في ذلك، فقال- رحمه الله -: ” لا أقدرُ أن أنظر إلى من افترى على الله وكذب عليه !”

طبقات الحنابلة 1/12

Dahulu Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Ahlus Sunnah) apabila beliau melihat seorang nashrani maka beliau menutup kedua matanya. Kemudian ditanyakan hal itu kepada beliau mengapa beliau berbuat demikian,

Beliau menjawab, “Aku tidak sanggup untuk melihat orang-orang Kristen yang mana mereka mengada-ada terhadap Allah dan berdusta kepada-Nya”.

Demikianlah yang dilakukan Imam Ahmad bin Hanbal terhadap seorang Kristen, karena begitu besar rasa pengagungan beliau kepada Allah Ta’ala dan sangat faqihnya Imam Ahmad.

Lalu bagaimana dengan anda ?

Anda mengaku Muslim dan suka mengedepankan sikap intelektual. Lalu apakah seorang Muslim layak untuk mengikuti hari raya keagamaan mereka? Walau hanya sekedar mengucapkan “Selamat” atau sekedar memakai topi merah ala Sinter Class?

Haasya Wa Kallaa!

Bertaqwalah kepada Allah wahai Ulil!

Mungkin anda lebih tahu bahwa natal (yang berasal dari bahasa Portugis yang berarti “kelahiran”) adalah hari raya kaum kafir Kristen yang diperingati setiap tahun oleh umat Kristen penyembah salib pada tanggal 25 Desember untuk memperingati hari kelahiran Yesus Kristus sebagai “tuhan”.

Natal dirayakan dalam kebaktian malam pada tanggal 24 Desember dan juga kebaktian pagi tanggal 25 Desember.

Dimana tempat orang-orang Kristen?

Allah yang Maha Esa berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ

 

“Sesungguhnya orang-orang kafir dari ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) dan orang-orang musyrik akan masuk neraka jahannam, mereka kekal di dalamnya. Mereka adalah seburuk-buruk makhluq.” [QS. Al-Bayyinah: 6]

Ulil, mereka adalah makhluk yang hina dan dimurkai Allah, apakah patut seorang yang beriman kepada Allah dan mengaku Muslim lalu memuliakan dan menghormati orang-orang yang Allah hinakan dan murkai dengan mengucapkan “Selamat natal”? Atau bahkan sampai kita turut dalam acara perayaan natal seperti rencana Jokowi? itu kalau anda merasa beriman.

Na’udzubillah

Bagaimana kondisi orang-orang Nashrani (Kristen) itu?

Allah yang Maha Esa berfirman,

أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا

“Apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami!? Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” [QS.Al-Furqon: 44]

Mas Ulil, mereka (orang-orang kafir Kristen) itu lebih sesat dari binatang ternak karena menganggap Nabi yang manusia biasa sebagai “Tuhan”, bahkan mereka merayakan kelahirannya, mereka tahu dia lahir sama seperti manusia yang lainnya juga lahir dari rahim seorang ibu, lalu apakah kita mengucapkan Selamat atas kesesatan mereka ? Lalu kita membolehkan masyarakat muslimin indonesia untuk menggunakan atribut-atribut mereka ? Ini namanya keterpuruan berfikir seorang menteri agama.

Pernyataan tegas tentang kafirnya kristen silahkan cermati ketika Allah yang Maha Esa berfirman,

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ

“Sungguh telah kafir orang-orang (Kristen) yang mengatakan bahwa Allah adalah ‘Isa Al-Masih bin Maryam.” [QS.Al-Maidah: 17]

Ulil, mereka kafir karena menganggap Yesus sebagai sesembahan mereka, bukankah yang mereka rayakan hari lahirnya?! Lalu Patutkah kita mengatakan Selamat atas kekafiran mereka?

Ulil, berangkat dari ini semua, dengan segala kerendahan hati saya, saya hendak menyampaikan pesan dari Nabi Muhammad 1400 tahun yang lalu buat anda dan ummat Islam seluruhnya.

Dalam Kitab Musnad dan Kitab Sunan diriwayatkan bahwasanya Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wa shahbibi wa sallam bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ وَفِي لَفْظٍ: لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا

 

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum (komunitas), maka dia termasuk bagian dari kaum (komunitas) tersebut.” (HR. Imam Abu Daud)

Artinya: Barangsiapa yang ikut merayakan natal (hari raya orang kafir Kristen), atau sekedar mengenakan atribut perayaan natal, atau hanya sekedar mengucapkan “selamat natal”, maka ia bukan termasuk ummat Muhammad dan bisa menjadi murtad !

Toleransi dalam beragama bukanlah dengan mengikuti dan meniru segala kebudayaan dan hari-hari besar keagamaan mereka, atau membenarkan ajaran mereka dengan mengucapkan “selamat natal”, atau meniru segala atribut natal.

Toleransi adalah Lakum diinukum waliyadiin (bagi kalian agama kafir kalian dan bagiku agama Tauhidku.

Pesan saya buat Ulil, bertaubatlah kepada allah sebelum ajal menjemput anda seperti Nasir Hamid Abu Zaid.

Semoga Allah menjaga kita dari kesesatan,

Sudah seharusnya bagi kita yang mengaku sebagai seorang muslim, untuk menerima dengan tunduk apa yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya, tanpa ada rasa berat dan penolakan sedikit pun dari dalam hati kita. Karena jika hal itu terjadi, maka itu adalah salah satu tanda adanya kesombongan yang ada dalam hati kita.

Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ» قَالَ رَجُلٌ: إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً، قَالَ: «إِنَّ اللهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ، الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ، وَغَمْطُ النَّاسِ

“Tidak akan masuk ke dalam surga seseorang yang di dalam hatinya ada setitik kesombongan.” Lalu ada seorang laki-laki bertanya pada beliau, “Sesungguhnya manusia itu menyukai baju yang indah dan sandal yang bagus.” Lalu beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.”

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa memberikan kita taufik dan kekuatan untuk bisa melakukan segala apa yang Dia perintahkan dan menjauhi segala apa yang Dia larang. Sesungguhnya Allah Ta’ala-lah yang Maha Pemberi taufik dan tidak ada daya dan kekuatan kecuali hanyalah milik Allah semata. Wallahu waliyyut taufiq. Allahu A’lam Bis-Shawab. (*/arrahmah.com)

]]>
276318