Ahmad Hafez
Magister dalam Sastra Arab, jurnalis, dan novelis.
(Arrahmah.id) – Media-media “Israel” pada Jumat (13/6) melaporkan bahwa sumber-sumber keamanan tinggi mengungkapkan keberadaan markas militer rahasia milik dinas intelijen “Israel”, Mossad, yang dibangun jauh di dalam wilayah Iran. Di markas itu disimpan drone-drone bunuh diri yang telah diselundupkan sejak lama dan digunakan dalam serangan terhadap instalasi militer dan nuklir Iran hari ini.
Sebagai respons, kantor berita Fars mengumumkan pengibaran bendera merah di atas kubah Masjid Jamkaran di Kota Qom, Iran Selatan—tanda balasan atas serangan yang dilakukan “Israel” terhadap berbagai fasilitas nuklir dan pembunuhan sejumlah komandan militer.
Sementara itu, militer “Israel” mengumumkan pada pagi hari peluncuran operasi yang mereka beri nama “Rakyat Seperti Singa”, dengan puluhan jet tempur melancarkan serangan pembuka langsung ke jantung wilayah Iran. Media Iran melaporkan bahwa serangan ini menewaskan beberapa ilmuwan nuklir dan komandan militer penting, termasuk Panglima Garda Revolusi, Hussein Salami, dan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Iran, Muhammad Baqeri.
Para pakar militer dalam wawancara dengan Aljazeera.net menyatakan bahwa “Israel” telah berhasil menembus sistem keamanan nasional Iran secara parah, dilihat dari tingkat kerusakan dan level tokoh militer serta ilmuwan nuklir yang menjadi korban.
Serangan ini mengingatkan kembali pada penetrasi “Israel” ke dalam struktur Hizbullah di Lebanon pada September lalu, yang melibatkan pemboman alat komunikasi nirkabel serta pembunuhan sejumlah pimpinan, termasuk Sekretaris Jenderal Hizbullah, Hassan Nasrallah.
Penetrasi Drone
Setelah serangan terjadi, sumber-sumber keamanan “Israel” mengungkap bahwa Mossad telah membangun sistem-sistem rahasia di Iran, termasuk basis drone-drone bunuh diri, sejak lama sebelum dilancarkannya serangan pada hari ini.
Menurut Imad Abshenas, Ketua Serikat Direktur Pusat Kajian dan Riset Iran, “kebanyakan operasi pembunuhan yang dilakukan ‘Israel’, terutama di Tehran, menggunakan drone yang diselundupkan oleh para agen ke dalam wilayah Iran.”
Dalam wawancaranya dengan Aljazeera.net, Abshenas menyatakan bahwa kehadiran para mata-mata aktif di dalam negeri menunjukkan kelalaian serius dalam keamanan yang menyebabkan terjadinya tragedi besar ini.
Media “Israel” melaporkan bahwa drone-drone ini telah disusupkan secara rahasia sebelum serangan dan digunakan untuk melumpuhkan sistem pertahanan udara Iran, sehingga membuka jalur bebas bagi angkatan udara “Israel”.
Lebih lanjut, Mossad disebut telah mendirikan lokasi penyimpanan drone di dekat Tehran, khususnya di sekitar kamp drone milik Iran. Drone-drone ini kemudian digunakan untuk menghantam peluncur rudal yang dinilai menjadi ancaman langsung bagi “Israel”.
Abshenas menambahkan bahwa banyak komandan dan perwira Garda Revolusi tinggal dalam satu kompleks di wilayah yang dikenal di Tehran, yang mempermudah para agen untuk menyasar dan menghabisi mereka. Ia menekankan bahwa “keberadaan para komandan di rumah mereka dalam satu gedung merupakan penyebab utama bencana ini.”

Alasan Kebocoran Keamanan
Dalam analisisnya, pakar keamanan dan militer Usamah Khalid menyebut beberapa faktor utama yang menyebabkan serangan ini berhasil:
- Kerja intelijen “Israel” yang mendalam di dalam wilayah Iran, baik di institusi sipil maupun militer.
- Salah tafsir terhadap niat “Israel” dan Amerika Serikat, yang diperparah dengan sikap optimistis para elit politik Iran seiring pembicaraan nuklir dengan Washington, menyebabkan pelonggaran sistem keamanan.
- Penetapan awal target-target strategis Iran melalui infiltrasi manusia, pemantauan teknologi, dan satelit yang selalu aktif, menjadikan target Iran tak pernah lepas dari pengintaian.
- Kerja sama intelijen dengan agen lokal Iran yang membantu Mossad dan Unit Aman (militer “Israel”) untuk menyelundupkan peralatan dan menyerang dari dalam.
Khalid menambahkan bahwa keberhasilan “Israel” dalam melakukan serangan mendadak ke target sebesar ini telah melumpuhkan sistem komando dan kontrol Iran, serta menyebabkan kekacauan dalam pengoperasian kemampuan militer mereka.
Perundingan di Tengah Serangan
Serangan ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Pada Kamis (12/6), Dewan Gubernur Badan Energi Atom Internasional (IAEA) mengeluarkan resolusi yang menuduh Iran melanggar komitmen terhadap perjanjian pengamanan nuklir.
Sebagai tanggapan, Kementerian Luar Negeri Iran menyatakan telah mengaktifkan fasilitas baru untuk pengayaan uranium, mengganti perangkat sentrifugal generasi pertama di situs Fordow dengan perangkat generasi keenam yang lebih canggih.
Serangan ini juga berlangsung hanya dua hari sebelum dijadwalkannya pembicaraan tidak langsung antara Iran dan Amerika Serikat. Menurut Mahdi Azizi, Direktur Pusat Visi Baru untuk Kajian dan Media di Iran, serangan ini mencerminkan strategi “pembicaraan di bawah tekanan”, di mana “Israel” mencoba menggagalkan perundingan tersebut sejak awal.
Sementara itu, Amerika Serikat menggunakan tekanan militer melalui “Israel” untuk memaksakan syarat-syarat baru kepada Iran terkait pengayaan uranium—memberikan sinyal bahwa Iran tak memiliki pilihan selain tunduk pada tuntutan Washington.

Pola yang Mirip dengan Hizbullah
Dilihat dari jenis dan kedalaman target yang diserang “Israel” di Iran, pola serangannya menyerupai yang terjadi terhadap Hizbullah di Lebanon sebelum gencatan senjata pada November 2024, menyusul eskalasi pasca 7 Oktober 2023.
“Israel” kala itu melancarkan beberapa serangan udara ke wilayah Lebanon, menargetkan pusat-pusat komunikasi Hizbullah dan membunuh para pemimpin utama mereka. Salah satu serangan paling mematikan terjadi di Dahiyah Selatan, Beirut, yang menewaskan Hassan Nasrallah, penasihat seniornya Fuad Syukr, serta tokoh-tokoh militer seperti Ibrahim Aqil, Ali Karki, Nabil Qawuq, Hasan Khalil Yasin, dan Muhammad Hussein Sarur—sebagian besar gugur dalam satu serangan saat pertemuan pimpinan berlangsung.
Hari ini, “Israel” mengklaim telah membunuh tokoh-tokoh penting Iran, termasuk Panglima Garda Revolusi Hussein Salami, Kepala Staf Militer Muhammad Baqeri, Komandan Markas Khatam al-Anbiya Ghulam Ali Rashid, dan pakar teknik nuklir Ahmad Reza Dzulfikar, selain sejumlah tokoh lainnya.
Pesan dengan Nuansa Berbeda
Meski Mahdi Azizi mengakui adanya kesamaan pola dan tujuan serangan, yakni upaya melemahkan kemampuan lawan dan menguji daya tahan mereka, ia menekankan bahwa Iran memiliki perbedaan besar dibanding Hizbullah—baik dari segi kekuatan militer maupun kondisi politik.
Namun, Usamah Khalid berpandangan lain. Menurutnya, “kesamaan dalam skenario antara Lebanon dan Iran memang wajar terjadi.” Ia menilai bahwa Teheran terlalu percaya diri bahwa “Israel” tidak akan berani menggunakan strategi seperti ini terhadap Iran—negara yang mereka anggap setara atau bahkan lebih kuat.
Ia menambahkan bahwa sejak Thufan Al-Aqsha pada 7 Oktober, “Israel” menerapkan doktrin baru: setiap serangan terhadapnya harus dibalas dengan serangan pembuka yang menghancurkan lini kepemimpinan dan kekuatan militer lawan. Inilah yang menjadikan pembunuhan massal pimpinan lawan sebagai fondasi baru dalam strategi militer “Israel”.
Khalid menyimpulkan, “penghilangan tokoh-tokoh strategis dan pimpinan tingkat atas musuh akan menyumbang separuh kemenangan, terutama jika dilakukan secara tiba-tiba dan menyakitkan.”
Artikel ini diterjemahkan secara utuh dari Aljazeera Arabic berjudul “كيف استعدت إسرائيل لاختراق بنك الأهداف الإيرانية؟” (Bagaimana “Israel” Mempersiapkan Diri untuk Menembus Bank Target Iran?).
(Samirmusa/arrahmah.id)